Thursday, June 28, 2007

maaf saya menghamili istri Anda

by wayan diananto

Ada kalanya kita menonton film lantaran kita terpikat pada judul. Nah, saya pun langsung terpikat pada film karya Monti Tiwa, maaf saya menghamili istri Anda. Judulnya yang terdengar “bangsat” langsung membuat saya yang juga…..ini bersegera mengagendakan film tersebut. Apakah filmnya juga “setengil” judulnya?

Jujur, openingnya saja sudah sangat mengecewakan. Gambar dengan kamera yang sangat televise. Dengan pewarnaan yang ala kadarnya membuat saya jadi setengah hati. Belum lagi opening ini sama dengan Pocong, tentu
dengan “greget” yang lebih menggetarkan Pocong.

Opening ini mungkin dimaksudnkan untuk menggelitik perut penonton tapi entahlah, saya juga tertawa sesekali meski ngilu juga dengan kualitas gambar yang jatuh. Maka dimulailah perjalanan seorang figuran sok improve yang senantiasa tak punya uang bernama Dibyo (Ringgo).
Dengan status keuangan “kemplang sana kemplang sini” tentu dia tak punya pacara dan mendapat preseden buruk dari orang sekitar.

Celakanya, ia dengan sok perlente menghadiri pesta ultah teman yang berujung pada acara bobok bersama Sang pemilik pesta. Kebetulan, Sang pemilik pesta yang bernama Mira dibawakan oleh Mulan Kwok. Belakangan baru diketahui bahwa Mira masih pisah ranjang dengan suaminya yang adalah preman. Dengan status mahajobless ini, Ringgo akhirnya mendapat
pekerjaan baru, yakni meyakinkan Sang Preman, bahwa istrinya aman ditangan Dibyo.

Saya tidak akan mendetailkan isi cerita, karena kemarin saya dituduh tukang spoiler sama teman saya setiap mereview di milis. Dari segi kasting, kok ya berkutat orangnya itu – itu saja! Si Preman diperankan
oleh bapak kos dalam Mengejar Mas2, dan juga pernah main di Pocong. Dan masih banyak lagi artis ala sinemart berkeliaran di film ini. Kenapa juga harus Mulan? Atau mungkin lebih tepatnya, kalau toh tetep keukeuh Mulan, kenapa juga tidak digembleng agar aktingnya lebih natural dan ‘pas.’ Sementara Shanty makin berkilau semenjak berbagi suami dengan Rieke Diah dan Ria Irawan. Ringgo sebenarnya pilihan yang pas, tapi tetap saja hal yang sebenarnya lebih bias digali dari pada sekadar Dibyo yang sekarang.

Saya paling terganggu dengan kualitas gambar. Sangat FTV namun scenario semacam ini memang riskan jika dipajang di layer beling. Tentunya, jika nekat dipajang dilayar beling akan banyak scene yang dikepras! Mungkin, karena Monty Tiwa sejatinya bukan sutradara dan mencoba mengembangkan bakat (untuk menggantikan kata ‘nekat’) menjadi sutradara, maka begitulah gambar – gambar yang muncul. Untuk sebuah mahakarya, tentu film ini jauh dari harapan. Sesal saya untuk film ini lebih kepada isi scenario yang seolah hanya mengajak kita untuk tertawa tanpa harus menemukan pesan dibalik tawa.

Sampai film ini berakhir saya masih bingung maksud dari film ini apa?
Ataukah saya yang geblek dengan IQ saya jongkok, ndeprok, ndlosor lan sak piturute? Sama – sama scenario karya Monty, saya merasa masih mending Mengejar Mas2, penuh kelakar, romantisme kasta bawah, namun sarat pesan moral. Barangkali Monty terlalu sibuk merumuskan kata – kata pemicu tawa, dan terlampau keras belajar jadi sutradara sampai lupa esensi film yang utama adalah menyampaikan satu pesan terhadap penontonnya. Atau barangkali ya itu tadi malah saya yang bloon karena gak nangkep maksudnya Monty? Entahlah…yang jelas saya selalu ingat kata Rudi Sudjarwo bahwa membuat film itu yang penting setelah penonton melihat film kita dan keluar dari bioskop, mereka “mendapatkan sesuatu” dari yang ditonton.

No comments: