Tuesday, November 20, 2007

Medley, Garis Batas Impian Lelaki


[by wahyu nurdiyanto] Tema Lumayan, Minim Kekuatan Miskin tema, plot cerita ala kadar yang kerap menjadi momok film nasional, sepertinya sedikit terpecahkan dengan kehadiran sebuah film serius Medley, Garis Batas Impian Lelaki yang bercerita tentang fenomena-fenomena nyata dalam kehidupan.

Medley, memang belum memunculkan impian akan kehadiran film bagus di tengah kuatnya permintaan pasar akan film-film bertema horor atau percintaan remaja. Namun setidaknya, film garapan sutradara Franklin Darmadi ini menjadi sebuah alternatif tontotan baru sangat sayang untuk di lewatkan. Film ini sendiri mulai tayang di jaringan Bioskop 21 mulai 22 november mendatang.

Film yang diproduksi oleh Shambala Pictures bercerita tentang Aditya (Yosi Mokalu) seorang suami yang tengah bimbang menghadapi roda kehidupan yang dijalaninya saat ini. Sebagai suami yang bekerja di perusahaan asuransi, Aditya selalu dihinggapi perasaan jika langkah yang ditempuhnya saat ini salah. Hal inilah yang membuatnya tidak bahagia, meski telah mempunyai kedudukan sebagai manajer serta istri dan satu orang putra bernama Rama.

Aditya akhirnya terjebak pada angan-angan untuk merubah hidupnya dengan berandai-andai, termasuk jika dirinya tidak menikahi May (Rachel Maryam) dan memilih untuk bersama wanita lain. Gambaran berikutnya adalah, Aditya kemudian terjebak pada kejadian-kejadian pararel seperti yang diangankannya. Seperti saat dirinya memilih untuk sekolah di Belanda dan menikahi pacar lamanya, Ivone (Alexandra Gottardo), atau seorang model dan artis tidak berbakat bernama Dian (Imelda Therinne).

Lonjakan-lonjakan adegan ini, mengingatkan kita pada apa yang tersaji pada film Butterfly Effect (dbintangi Ashton Kutcher). Perbedaanya hanya munculnya tokoh lain, yakni Waluyo (Alex Komang) yang membuat Aditya terbang kedalam angan yang diimpikannya.

Pada ahirnya, penonton pun dibawa pada sebuah kesimpulan jika kehidupan memang terkadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. "Cerita dalam film ini memang diambil dari kenyataan hidup sehari hari. Dan inilah yang menjadi salah satu kekuatan film ini," ucap Franklin Darmadi, Selasa (13/11), saat lounching Film Medley di Plasa Semanggi Jakarta.

Selain penyajian gambar yang bagus,-meski kadang melelahkan dengan banyaknya adegan close up yang membuat mata lelah-, yang perlu dicatat di film berdurasi 97 menit ini adalah penampilan Yosi yang terbilang bagus. Pria yang lebih dikenal sebagai Yosi Project Pop ini, mampu menghidupkan karakter Aditya, dan terlihat mampu mengimbangi permainan lawan mainnya yang rata-rata sudah kerap bermain film, seperti Rachel, dan Alex Komang.

Tidak hanya itu, penampilan menggoda dari Ferry Ardiansyah yang memerankan sosok Gatot juga cukup menghibur dan mampu membuat munculnya senyum tulus dari penonton. Kalaupun ada yang kurang, Medley kurang mampu menyajikan dialog-dialog kuat antar tokoh, khususnya antara Aditya dengan Waluyo. Dialog dua tokoh ini seharusnya bisa lebih kuat, karena sutradara memang ingin menekankan pesan-pesan mengenai sakralnya kehidupan berumah tangga, termasuk problem-problem lainnya.

Medley, Garis Batas Impian Lelaki Sutradara : Franklin Darmadi Penulis skenario : Nicko Widjaja pemain : Yosi mokalu, Rachel Maryam, Alexandra Gottardo, Ferry Ardiansyah, Alex Komang, Magdalena, Imelda Therine. Produksi : Shambala Pictures Durasi : 97 Menit Jenis : Drama Diputar 22 November 2007

Tuesday, October 30, 2007

Film Traffic Dari MTV-USAID

Film Dokumenter Mengenai Perdagangan Manusia

Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia Cameron Hume memperkenalkan program Traffic : An MTV Exit Spesial, sebuah program dokumenter produksi MTV mengenai perdangangan manusia di Asia Tenggara. Selasa (30/10).
Program film ini didanai oleh Badan Pembangunan Internasional Pemerintah Amerika Serikat (USAID), dan sebelumnya telah diputar di China, Malaysia dan India, dimana film ini mendapat sambutan yang besar.
Film ini menceritakan kisah tiga orang,-warga Indonesia, Filiphina dan Burma,- yang dijerumuskan dalam praktik perbudakan, protistusi dan kerja paksa. Film tersebut menjelaskan bagaimana kita dapat mewaspadai perdangan manusia dan apa yang dapat kita lakukan untuk membantu mengakhiri eksploitasi dan perdangangan manusia.
"Tujuan dari film ini adalah untuk menyelamatkan nyawa. Melalui MTV, film ini akan menjangkau jutaan kaum muda, kelompok yang paling beresiko menjadi korban perdagangan manusia," terang Dubes Hume dalam acara pemutaran perdana film di Time Break Cafe.
Traffic disajikan dalam bahasa Indonesia oleh artis Kris Dayanti. Film dokumenter ini, merupakan proyek kerjasama antara USAID dengan MTV Foundation.
Program ini diharapkan menjangkau 380 juta rumah tangga di Asia.
dalam rangka menggugah dan mencegah praktik perdagangan manusia.
Program film dokumenter ini juga menjadi bagian dari kampanye yang lebih besar yang mendakup film anime dan pengumuman layanan publik serta acara-acara MTV untuk membuat masyarakat siaga terhadap bahaya perdagangan manusia. Dan sekaligus meningkatkan kegiatan anti perdagangan manusia oleh LSM.
Perdagangan manusia adalah tindakan kejahatan global yang menempati urutan kedua setelah kegiatan perdagangan obat terlarang yang menghasilkan sekitar 7-10 miliar dolar AS setiap tahunnya.

Monday, October 15, 2007

Zodiac, Kisah Panjang Dalam Durasi Panjang


[by hery subyanto]

David Fincher merupakan salah satu sutradara favoritku, karena selalu menghasilkan film yang memuaskan. Dari 5 film yang pernah dibuatnya, saya pernah melihat 4 film yaitu Seven, The Game, Fight Club dan Panic Room. dari keempat film tersebut, terlihat sekali kemampuan David Fincher dalam mengolah cerita. Dia tahu banget bagaimana bercerita, bagaimana menyampaikan cerita dengan menarik. Sebuah kemampuan yang tidak dimiliki oleh setiap sutradara. Kini dia hadir dengan karya ke enamnya yakni ZODIAC.

Film ini dibuat berdasarkan kejadian nyata yang mengguncang Amerika sekitar tahun 60-an hingga 70-an. Sebuah serial killer yang tidak pernah terungkap yang dilakukan oleh seseorang yang menamakan dirinya dengan Zodiac. Meskipun bercerita tentang pembunuh berantai, jangan berharap ketegangan seperti yang ditampilkan dalam Seven ataupun Panic Room. Film ini lebih berfokus kepada kehidupan orang-orang yang tertarik mendalami kasus Zodiac tersebut. Bagaimana kasus ini “menghantui” hidup ketiga tokoh utama dalam film ini ( Robert Downey Jr, Jake Gyllenhal dan Mark Rufallo). Meskipun demikian keberadaan Zodiac lantas dikesampingkan. Zodiac disini masih ditampilkan secara pas sesuai kebutuhan. Kita masih diajak untuk melihat kesadisan aksi Zodiac.
Detail kasus ini digambarkan sedemikian rupa. Naskah Cerita diambil dari buku tulisan Richard Graysmith yang di dalam film diperankan oleh Jake Gyllenhall. Tokoh-tokoh lain dalam film juga ada dalam kejadian nyata.
Kisah dalam film ini merupakan kisah yang panjang. Selain durasinya yang panjang ( lebih dari 2,5 jam!), film juga menggambarkan rentang kasus secara kronologis mulai dari akhir 60-an sampai dengan awal 90-an. Di akhir film, ditulis perkembangan kasus hingga tahun 2004. Pada salah satu adegan, perubahan waktu digambarkan dengan sangat menarik, yakni dengan menggambarkan pembangunan sebuah gedung.
Karena panjangnya durasi dan perjalanan kasus, butuh tenaga ekstra melihat film ini. Durasi yang panjang di satu sisi bisa memberi hal positif dalam menggambarkan perkembangan kasus secara detail, tetapi di sisi lain bisa membuat penonton bosan. Apalagi bila didalamnya minim “letupan” cerita. Tetapi untungnya, seperti yang telah diutarakan diatas, film ini ditangani oleh David Fincher yang mempunyai kemampuan menghantarkan cerita yang baik, membuat film ini menjadi lebih enak dinikmati, meskipun pada beberapa bagian sempat membuatku tertidur.
Ketiga tokoh utamanya digambarkan dengan imbang dan cukup. Pada saat tertentu tokoh yang satu lebih banyak perperan, tetapi pada bagian yang lain, giliran tokoh yang lain untuk tampil.
Kelebihan dari film ini adalah keterampilan sutradara dalam mengolah gambar, sehingga sedikit meminimalisir cerita yang sedikit melelahkan. Melihat Zodiac, kita diajak bertamasya mata melihat Amerika di era akhir 60-an dan awal 70-an. Sutradara memberikan gambaran yang cukup memanjakan mata. Hal ini diperkuat dengan sudut pengambilan gambar yang menarik. Tidak akan mengherankan kalau nantinya film ini memperoleh nominasi Oscar untuk kategori Sinematografi dan Art Direction ( untuk usaha menanam 24 pohon oak seperti dalam kejadian asli? ).
Dari yang aku baca, film ini merupakan film pertama yang secara utuh menggunakan kamera digital Thomson Viper. Mungkin ini yang menyebabkan gambar yang ditampilkan terlihat lain, baik dari segi kejernihan gampar ataupun dalam penangkapan warna yang menurutku lebih soft. Dalam hal ini aku kurang faham.
Satu hal yang aku tangkap dari film ini adalah, ketidakberhasilan penegak hukum dalam mengurai kasus ini disebabkan kurangnya koordinasi antara penegak hukum di wilayah yang satu dengan penegak hukum di wilayah yang lain.
Aku tidak bisa bilang film ini bagus, karena terus terang agak sedikit berat mengikuti alur cerita, tetapi film ini menarik untuk disaksikan. Tapi satu yang pasti, film ini tidak jelek. 3/5

The Lookout


[by hery subyanto] Jarang sekali ada penulis scenario yang alih jabatan menjadi sutradara. Kalaupun ada yang mencoba melakukannya, seringkali hasilnya tidak sebagus hasil tulisan mereka. Lewat The Lookout, Scott Frank dinilai berhasil menghasilkan karya yang bagus, sebagaimana hasil tulisannya seperti Out of Sight, Get Shorty atupun Minority Report.

Film ini memang kurang bergema, di Amerika sekalipun, tetapi banyak kritikus film disana yang memasukkan film ini sebagai salah satu film terbaik di tahun 2007 ini. Film yang didanai dengan budget terbatas ini memang lebih mengandalkan kekuatan cerita dan acting para pemainnya, dibandingkandengan menyajikan adegan – adegan yang heboh. Kalau pernah melihat Out of Sight pasti sudah bisa membayangkan irama dari film ini. Temanya sangat sederhana, yakni bagaimana hidup seseorang setelah mengalami sebuah musibah. Tema yang sebenarnya cukup basi ini ternyata di tangan Scott Frank menjadi enak dinikmati berkat kemampuannya yang baik dalam bercerita. Berbeda dengan Jodie Foster dalam yang membabi buta dalam The Brave One setelah mengalami sebuah tragedy, tokoh utama dalam film ini ( Joseph Gordon Levitt ), yang berhasil selamat dari sebuah musibah harus hidup dengan rasa bersalah karena musibah yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari perbuatannya. Konflik dengan dirinya sendiri ini semakin diperparah dengan otaknya yang mengalami kerusakan, sehingga dia menggunakan buku catatan untuk membantu ingatannya. Tidak seekstrim yang ditampilkan dalam Memento yang mentato tubuhnya. Selain itu dia juga diharuskan mengikuti semacam sekolah yang mencoba memperbaiki daya ingatnya. Meskipun dikelilingi orang-orang yang menyayanginya, seperti temannya yang buta ( Jeff Daniels dengan penampilan yang mengejutkan ), tokoh utama dalam film ini ( Chris Pratt ) digambarkan hidup dengan kemurungan. Cerita menjadi seru ketika dia bertemu dengan Gary Spargo ( Mathew Goode ). Si Gary ini mencoba memanfaatkan kelemahan Chris Pratt ke dalam rencana kriminalnya. Sekali lagi, kekuatan film ini adalah kemampuan sutradara dalam bercerita. Cerita yang sebenarnya tidak istimewa ini, ternyata bisa dituturkan dengan enak oleh Scott Frank. Dijamin tidak akan membuat penonton bosan. Naik turunnya cerita sangat terjaga dengan baik. Ketegangan dimunculkan pada saat dan dalam porsi yang sewajarnya. Permainan para bintang dalam film ini juga enak dilihat. Joseph Gorden Levitt yang di film 10 Things I Hate About You masih sangat imut, di film ini terlihat makin matang dan sekilas wajahnya mirip Heath Ledger. Inti dari film ini adalah bagaimana kita hidup dengan segala kekurangan yang kita miliki dan dengan kesalahan yang pernah kita buat. Bahwa kedua hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk kita berhenti hidup. Mungkin kita bisa belajar dari tokoh yang diperankan oleh Jeff Daniels, yang meskipun buta masih bisa menikmati hidup. Apalagi kalau kita dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi kita. Peace with yourself. 3/5

Monday, October 8, 2007

Salahnya Jelangkung 3


[by hery subyanto]


Melihat film horor Indonesia adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang sayangnya banyak dilakukan oleh penikmat film Indonesia , termasuk saya yang beberapa hari yang lalu melakukan kesalahan yang sama dengan melihat film horror buatan dalam negeri, Jelangkung 3.


Film horror Indonesia adalah sebuah kesalahan karena film horror Indonesia30 menit pertama film ini masih enak dinikmati, karena terlihat pembuat film ingin keluar dari pakem film horror Indonesia. Tetapi setelah itu, ketika hantu-hantu mulai berkeliaran, cerita menjadi basi, tidak ada sesuatu yang baru dan tidak konsisten.
melakukan kesalahan terbesar dalam sebuah produksi film yakni tidak didukung struktur cerita yang meyakinkan. Jelangkung 3 sebenarnya mempunyai latar belakang cerita yang cukup menarik, yakni mitos sekitar kursi yang dikosongkan pada saat penayangan film Jelangkung pada tahun 2000 (2001?).

Sesuatu yang baru yang coba ditawarkan oleh film ini yakni dominannya adegan di jalan raya, bukannya menambah tensi ketegangan, tetapi malah membuat penonton bosan karena seolah-olah tiap menit kita disuguhi adegan yang sama, Serasa déjà vu. Adegan di jalan raya menyita hampir 2/3 durasi film.

Film horror Indonesia adalah sebuah kesalahan karena sudah tidak terasa horror lagi. Hal ini disebabkan pemunculan hantu mudah sekali ditebak.

Film horror Indonesia adalah sebuah kesalahan karena tokoh-tokohnya digambarkan bodoh dan sering melakukan kesalahan yang sama yakni mereka selalu memisahkan diri dari temannya. Padahal kalau mereka menggunakan prinsip “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” hantunya tidak akan sembarangan muncul dan cerita akan menjadi lain.

Film horror Indonesia adalah sebuah kesalahan karena kadang maunya terlihat pintar tapi jatuhnya malah terlihat makin bodoh. Dalam Jelangkung 3, penulis cerita maunya mengaburkan pemunculan hantu dengan kebiasaan berbohong tokoh utamanya, mengaburkan kematian karena hantu dengan asma. Sebuah usaha yang patut kita hargai kalau dibekali dengan cerita yang meyakinkan dan konsisten. Dua hal yang tidak bisa ditemui dalam Jelangkung 3.

Dibandingkan dua Jelangkung sebelumnya, sebenarnya Jelangkung 3 ini lebih enak dinikmati oleh mataku berkat panataan kamera yang lebih “jinak”. Menurutku ini salah satu poin positif dari Jelangkung 3, selain kejadian terputusnya film. Dalam hal ini saya mengucapkan terima kasih kepada pengelola Studio Theatre di Singosaren. Kejadian tersebut sedikit menambah suasana menjadi lebih horror. Mungkin lebih horror daripada film horror Indonesia.
1/5

Tuesday, September 25, 2007

Hot Fuzz: Action Terpanas


by hery subyanto

Film ini menurutku merupakan salah satu film aktion terbaik tahun ini, sampai di bulan September ini. Satu tingkat lah dengan Bourne, tapi setingkat lebih bagus dibandingkan Die Hard 4.
Mungkin bagi yang sudah terlalu biasa dengan film action suguhan Hollywood agak kurang sabar melihat film ini.


Film ini memang bukan buatan Hollywood tapi Inggris dengan bintang-bintang yang secara fisik kurang meyakinkan untuk sebuah film action. Itulah film Inggris yang lebih menekankan pada karakter
tokoh-tokohnya.

Seperti umumnya film Inggris, pada awalnya film ini memang berjalan terlalu pelan untuk ukuran film action. Tapi disitulah asyiknya film
Inggris, karena biasanya kita disuguhi sesuatu yang menarik di akhir film.

Aku seneng banget dengan film ini karena penuh dengan kejutan. Dalam sebuah adegan kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sutradara seakan-akan mengolok-olok persepsi kita akan film action yang ada selama ini. Terutama film action produk Hollywood.

Bagi yang pernah melihat Shaun of the Dead yang ditangani sutradara dan penulis yang sama, kejutan yang ada mungkin sedikit berkurang kadarnya. Film Shaun of the Dead, sutradara dan penulis cerita
menampilkan zombie yang dibalut humor cerdas.

Dalam Hot Fuzz juga begitu. Humor yang ditawarkan cerdas banget. Tentu dengan gaya Inggris yang suka mengolok-olok diri mereka sendiri.

HOT FUZZ
Director: Edgar Wright
Cast : Simon Pegg ... Nicholas Angel, Martin Freeman ... Met Sergeant, Bill Nighy ... Met Chief Inspector
Additional Details
Also Known As: Blue Fury (UK), Bubblin' Fizz (UK) , Dead Right (UK), Hot Fuzz (France) Runtime:
121 min


Film menjadi sangat seru ketika memasuki 30 menit terakhir, yakni setelah identitas penjahatnya terungkap. Identitas penjahat disini merupakan kejutan terbesar dari film ini. Benar benar tidak disangka. Menurutku gaya bertutur film ini mirip dengan gaya Agatha Christie. Petunjuk identitas penjahatnya tersebar hampir sepanjang film.

Catatan buat yang mau melihat film ini, anggaplah serius semua adegan yang ada, meskipun kelihatannya tidak penting. Perlakuan tokoh protagonis kepada antagonis juga nggak tanggung-tanggung. Kondisi terdesak ya langsung sikat saja tanpa melihat kondisi penjahatnya.

Film ini bener-bener keren dan mempunyai tingkat
hiburan yang tinggi. Pokoknya wajib tonton. Dan jangan lupa perhatikan cameo yang muncul di film ini.

Daywatch: imajinasi liar dari Rusia


[by hery subyanto]

Film produksi Rusia ini merupakan bagian kedua dari film yang rencananya dibuat trilogi.

Judul pertamanya Night watch telah dirilis tahun lalu. Sayang sekali
aku belum melihatnya. Seri kedua ini di Rusia penjualan tiketnya melampaui film-film box office dari Amerika, macam Spiderman 3 dan Pirate 3. Bisa dibayangkan kan bagusnya film ini. Review yang ada
juga memberikan poin lebih terhadap Day Watch dibandingkan dengan film-film sekuel produk Hollywood.

Ceritanya biasa, yakni pertarungan antara yang baik dan buruk. Film menjadi luar biasa karena dikemas dengan gaya yang berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh Hollywood.

Karakter tokoh utamanya aneh banget. Melihat polah tingkah dia, kita jadi tidak yakin cerita akan mengalir kemana. Beda banget dengan
karakter hero di film Hollywood. Tokoh utama disini digambarkan labil banget, suka ceroboh. Padahal disini dia punya tugas berat, yakni selain menyelamatkan anaknya dia juga harus menghindarkan dunia dari kegelapan.

Day Watch (Russia)
Release Date: June 01, 2007

Director: Timur Bekmambetov
Writer: Timur Bekmambetov
Starring: Konstantin Khabensky Aleksei Chadov Yuri Kutsenko Igor Lifanov Sergei Lukyanenko Rimma Markova Vladimir Menshov and Mariya Poroshina
Studio: Fox Searchlight


Penjahatnya juga aneh. Musuh di depan mata juga gak segera dibunuh malah dibiarkan mabuk! Yang menarik pertentangan antara baik dan buruk ini digambarkan lebih ke pertarungan ideologi. Ada orasinya segala. Pilih kanan atau kiri.

Berbeda (lagi) dengan Hollywood, cerita film ini dieksekusi dengan sangat nyaman. Tidak kanan ataupun kiri. Film ini semakin asyik dinikmati berkat tampilan visual dan aksi yang ditawarkan. Sangat imajinatif.

Sutradara benar-benar mempunyai imajinasi yang liar menurutku. Mungkin efek visual yang ditampilkan tidak seheboh film Hollywood. Tetapi menurutku, efek visual yang ada sangat pas untuk menggambarkan imajinasi liar tadi. Tidak menyangka Rusia bisa membuat film sperti ini. Dan sebuah pengalaman yang mengasyikkan melihat aksi bintang-bintang dari Rusia yang tenyata tidak sedingin yang aku bayangkan. Malah kadang ada sepotong humor yang terselip yang cukup bisa membuat senyum kita tersungging.



Sunday, September 2, 2007

Gambar Film Tersensor






Sebuah cuplikan gambar film yang menarik [setidaknya menurut beberapa orang]
Ini adalah cuplikan gambar film Indonesia yang dibintangi oleh Yurike Prastica yang ketika itu terkenal berani beradegan panas di depan film seluloid. [sampe keteknya yang ga bercukur dan penuh rambut pun berani dia perlihatkan]

Entah, film ini judulnya apa, tapi kayaknya masih ada bau nama-nama Pantai Selatan yang memang sangat terkenal itu.

salam, -wahyu -

Klik Gambar tuk Perbesar

Saturday, September 1, 2007

Seraphim Falls


Balas Dendam yang Melelahkan Letusan senapan itu membelah keheningan Gunung Ruby. Gideon (Pierce Brosnan) pun dibuat mengerang dan bertanya-tanya: Siapa gerangan yang tega membolongi tulang belikatnya di gelap gulita ini?

Seraphim Falls (2007) dibuka dengan Gideon yang berdarah-darah.

Pemain: Pierce Brosnan, Angie Harmon Sutradara: David Von Ancken
Durasi: 115 menit
Produksi: Samuel Goldwyn Films

Kemudian lima orang yang muncul dari balik cemara, salah satunya Morsman Carver (Liam Neeson). Mereka bergerak bak bayangan di tengah hamparan salju putih dengan moncong bedil di tangan. Kelimanya menyasar Gideon yang kala itu kesakitan hebat dan terkaget-kaget. Gideon melawan dengan beringsut menuruni bukit, meninggalkan gundukan kayu bakar yang asapnya masih mengepul. Ia pun kembali bertanya-tanya: Siapa gerangan yang bersusah payah mencarinya ke bukit terpencil ini?

Bukankah perang saudara telah usai?
Ya, perang telah usai bagi Gideon. Karena itulah ia mengasingkan diri ke pegunungan bak seorang petapa. Tapi, bagi Carver, perang baru saja dimulai, paling tidak perang melawan Gideon. Film Seraphim Falls sebetulnya bertitik tolak dari Seraphim Falls, nama sebuah daerah di barat Amerika Serikat, salah satu medan pertempuran sengit antara tentara Union versus tentara Konfederasi saat Perang Saudara AS tahun 1860-an.

Di Seraphim Falls, terjadilah tragedi itu. Tentara Union dipimpin kolonel Gideon menyokok pimpinan tentara Konfederasi, kolonel Carver, di rumahnya. Namun, tentara Union kemudian bertindak gegabah dengan membakar seisi rumah, termasuk membakar Rose (Angie Harmon), istri Carver. Peristiwa ini berlangsung kilat di luar kontrol Gideon. Gideon justru merasa dikibuli anggotanya yang menyatakan bahwa isi rumah sudah dikosongkan. Gideon murka. Carver bersumpah membalas.
Seraphim Falls jelas mengusung tema film-film western klasik, yakni aksi balas dendam.

Toh, penonton tak pernah tahu --bahkan hingga kuarter ketiga film-- bahwa alasan kesumat Carver adalah pembantaian anggota keluarganya.
Sutradara David Von Ancken sengaja menyimpan informasi penting ini dan baru membukanya di ujung film ketika penonton mulai kelelahan. Penonton kelelahan (baca: bosan) oleh aksi kejar-kejaran yang menempatkan mereka bagai penumpang kereta api.

Beringsut dari satu stasiun ke stasiun lainnya, bergerak linear dari titik A ke titik Z. Namun, itulah seluruh isi film Seraphim Falls. Sepanjang 115 menit kita disodorkan aksi kucing-kucingan kelompok pemburu dan buruannya. Tak lebih.
Penembakan Gideon di Gunung Ruby adalah peluit tanda dimulainya drama kejar-kejaran ini. Yang menarik, Gideon hanya memiliki sebilah belati sementara Carver dilengkapi amunisi penuh dan empat pembunuh bayaran. Tapi Gideonlah sang pemenang duel tak seimbang ini. Lihat bagaimana ia melakukannya pada sebuah padang tandus, usai pertempuran panjang yang melelahkan. Ia membedah perut kudanya, ia keluarkan isi perutnya, lantas ia bersembunyi di dalamnya. Di waktu yang tepat, Gideon meloncat dari bangkai kuda sembari menodongkan pistol ke arah jidat Carver. Aksi yang mengejutkan.

Secara keseluruhan Seraphim Falls adalah sebuah film yang amat pendiam. Dialognya amat irit, mencuatkan kekhawatiran bahwa karakter tokoh gagal terbangun secara utuh. Adalah kepiawaian akting Brosnan dan Neeson semata yang mampu mengatasi banyaknya ruang kosong ini. Sorot mata gelap Brosnan menandakan jiwanya yang tersiksa. Sementara pandangan dingin Neeson menunjukkan semangat hidupnya telah pudar kecuali untuk membalaskan kematian keluarganya.
Kepiawaian akting Pierce Brosnan dan Liam Neeson mampu mengatasi 'ruang kosong'.


Toh, penonton rela menunggu lebih dari satu jam untuk sekadar mengetahui akhir dari drama kejar-kejaran ini. Dan, sutradara David Von Ancken menyodorkan sebuah akhir yang mengejutkan. Yakni sebuah akhir surealis yang berisiko.

[sumber Republika Sabtu 1 September 2007]

Cintapuccino Cinta dari Secangkir Kopi


Film ini diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Icha Rahmanti.
Rahmi bingung. Ia harus memilih seorang di antara dua pria, Raka tunangannya atau Nimo, teman satu SMA dan kuliah yang pernah membuatnya jatuh cinta tak berbalas. Kisah tersebut merupakan inti cerita film terbaru SinemArt Pictures berjudul Cintapuccino.

Film layar lebar garapan sutaradara peraih Piala Citra, Rudy Soedjarwo, ini, dijadwalkan beredar di seluruh bioskop Indonesia mulai hari ini, Kamis (30/8).
''Semua orang punya obsesi, bisa apa saja, dan tidak selalu buruk bila diarahkan dengan benar,'' kata Rudy dalam jumpa pers yang digelar usai preview film itu, di Jakarta, pekan lalu. Dalam Cintapuccino ini Rahmi (Sissy Prescillia) terobsesi kepada Dimas Geronimo atau disapa Nimo (Miller). Nimo adalah seorang lelaki yang menjadi teman di masa SMA dan kuliah.

Pertemuan Rahmi dengan Nimo terjadi kali pertama saat ada perkenalan kegiatan ekskul. Obsesi mendapatkan Nimo tertanam di lubuk hati terdalam Rahmi, bahkan sampai ketika sang pria idaman lulus kuliah dan merantau ke Brunei Darusalam untuk bekerja.
Di tengah kekosongan hati, Rahmi lalu berkenalan dengan Raka (Aditya Herpavi) yang berprofesi sebagai seorang wartawan. Hubungan keduanya berlangsung serius. Keduanya kemudian berniat membina hubungan setelah mendapat restu dari keluarga. Keduanya lalu bertunangan.

Namun, lima bulan setelah itu, hati Rahmi dilanda kebimbangan besar untuk menikah dengan Raka, padahal keduanya sudah memesan tempat resepsi dan menentukan undangan.
Kebimbangan itu muncul setelah pertemuannya dengan Nimo yang secara tidak sengaja di sebuah tempat makan. Nimo yang cuti kerja kembali ke Bandung dengan satu tujuan, mencari Rahmi untuk menyatakan bahwa ia juga menaruh hati dan ingin kawan sekolahnya itu menjadi isteri. ''Kenapa baru sekarang?, Kenapa tidak dua tahun lalu? Kenapa tidak lima bulan lalu, Mo?'' Pertanyaan bertubi-tubi itu deras terlontar keluar dari mulut Rahmi. Ia kecewa sekali, karena pria yang diam-diam tidak pernah pergi dari hatinya itu baru mengutarakan cinta, setelah dirinya sudah hampir resmi menjadi isteri orang lain.

Cintapuccino merupakan film drama romantis. Film ini diangkat dari novel dengan judul yang sama karangan Icha Rahmanti. Tetapi, bagi Rudy Soedjarwo, kisah ini bisa dijadikan sebuah pesan bahwa cinta memang harus memilih dan tidak harus memiliki. Obsesi Rahmi mendapatkan Nimo tidak pernah pupus dan ternyata terwujud, kendati datangnya pada waktu yang nyaris terlambat.

Menurut Rudy, justru di sinilah letak pesan moral yang membentuk orang menjadi dewasa. Betapa pun faktanya sangat menyakitkan, Raka ditampilkan sebagai sosok tegar dan mampu menerima kenyataan. Setelah sempat berbicara empat mata dengan Nimo, Raka menyerahkan keputusan kepada Rahmi, akankah mereka meneruskan rencana naik ke pelaminan?
''Aku tidak ingin kita menikah hanya karena undangan sudah disebar,'' katanya kepada Rahmi, yang mencoba meyakinkan sang tunangan dan dirinya sendiri untuk melanjutkan rencana mereka. Keharusan Rahmi untuk memilih seorang di antara Raka dan Nimo pun dibalut cukup manis oleh Rudy dengan memberi ilustrasi lagu berjudul Maafkanlah karya Bebby Romeo yang dipopulerkan kembali oleh Ahmad Dhani. S'kali lagi maafkanlah, ku tak bisa, tinggalkan dirinya.... demikian penggalan lirik lagu tersebut, yang akhirnya mengantarkan Rahmi ke dalam pelukan Nimo, di akhir kisah. Lalu, cinta Rahmi pun berpindah. Raka menangis, sedangkan Nimo dan Rahmi tersenyum di tempat terpisah.

[sumber Republika Kamis, 30 Agustus 2007
]

Film Presiden Iran


Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad mengatakan ia tidak memiliki keberatan pada prinsipnya jika sutradara penerima-Oscar Oliver Stone ingin membuat film mengenai dirinya.

Laporan media Barat mengatakan sutradara AS itu, yang telah membuat film mengenai mantan presiden AS John F. Kennedy dan Richard Nixon, ingin memproduksi sebuah film mengenai Ahmadinejad, seorang pengecam keras kebijakan AS di Timur Tengah.

Ketika ditanya bagaimana ia akan menangapi permintaan itu, Ahmadinejad mengatakan pada satu konferensi pers:
"Saya tidak memiliki keberatan, berbicara secara umum, tapi mereka harus membiarkan saya mengetahui bagaimana kerangka kerjanya. Mereka harus berbicara pada teman-teman saya...berbicara terutama, saya tidak memiliki keberatan." Stone telah membuat film yang menyuarakan frustrasi generasi Perang Vietnam dan pada Mei mengungkapkan sebuah iklan politik yang minta penarikan tentara AS dari Irak, permintaan yang Ahmadinejad secara tetap minta.

Ahmadinejad, anak laki-laki seorang pandai besi, tumbuh melalui jajaran Garda Revolusi yang menggerakkan Iran secara ideologis, menjadi walikota Teheran dan memenangkan kepresidenan pada 2005, berjanji untuk membagi kekayaan minyak Iran secara lebih adil.


[Rabu, 29 Agustus 2007 l reuters/antara/]

Sunday, August 19, 2007

Opera Jawa



Artika Sari Devi: Deg-degan dengan Opera Jawa
foto : wahyu nurdiyanto

Mantan Putri Indonesia, Artika Sari Devi, tengah deg-degan. Ini gara-gara film Opera Jawa yang rencananya akan diputar di Blitzmegaplex, Jakarta, mulai 26 Agustus mendatang. "Aku deg-degan karena penasaran ingin melihat gimana apresiasi orang kita waktu liat nanti. Soalnya, genre-nya kan lain," kata Tika (27), yang pada film garapan sutradara Garin Nugroho itu berperan sebagai tokoh Siti.

Opera Jawa yang telah diputar di beberapa negara Eropa itu belum pernah diputar secara reguler di Indonesia. Selain di Jakarta, Film Terbaik pada festival film internasional Singapura itu juga akan diputar di Bandung dan Yogyakarta.

"Khusus di Blitz, nanti akan ada happening art. Aku akan menari bersama Mas Miroto. Aku harus latihan dulu karena aku kan bukan penari," kata Tika yang dalam film itu berpasangan dengan penari Miroto, yang berperan sebagai suaminya.

Tika telah beberapa kali menonton Opera Jawa. Setiap kali nonton, ia ketemu adegan tertentu yang membuatnya tersipu-sipu. "Ada adegan di mana aku takut salah. Aku takut ngabisin can—gulungan film, apalagi kita pakai tiga kamera. Jadi, aku akting sambil mikirin harga can," kata Tika yang mendapat gelar Aktris Terbaik di Nantes, Perancis. (XAR) [sumber: kompas.co.id, Minggu 19/8/07]


Tuesday, August 14, 2007


Pengantar penulis : Tidak nyangka dari coba-coba ternyata gol juga. Nulis hal sepele sih tapi tetep seneng soalnya baru pertama ngirim dan dibaca ribuan pasang mata.
Mungkin bisa memotivasi temen-temen yang lain. Kalau ada duit lebih beli aja, Kalo gak ada ya ini aku kirim buat semua hehehe


JANGAN DISKRIMINASIKAN KAMI!
[oleh hery subyanto - di muat sebgai artikel di majalah M2 (Movie Monthly, bulan Agustus 2007]

Saya gembira sekali di tahun 2007 ini disuguhi dengan banyak film Indonesia. Dan yang lebih menggembirakan lagi, hal tersebut diikuti dengan bervariasinya tema yang ditawarkan, diluar tema hantu dan kisah cinta remaja. Tapi dibalik kegembiraan tersebut, terus terang saya merasa sangat kecewa dengan keputusan
beberapa pekerja film ( produser ) yang memutuskan menayangkan hasil karya mereka hanya di kota tertentu saja, seperti film 3 Hari untuk Selamanya, Anak – anak Borobudur dan The Photograph.

Sebelumnya, film Serambi dan Opera Jawa juga hanya diputar beberapa kota saja.
Saya mengkhawatirkan film Lari dari Blora akan mengalami nasib yang sama.
Dari hal tersebut dapat saya simpulkan beberapa hal. Salah satunya adalah pembuat film tidak mempunyai kepercayaan diri filmnya bisa diterima oleh masyarakat. Sehingga mereka hanya memutar film mereka di kota-kota yang masyarakatnya mereka anggap lebih apresiatif terhadap karya mereka.

Kalau benar demikian, mereka tidak berbeda dengan para produser lain yang dalam menghasilkan sebuah film hanya berorientasi pada keuntungan semata. Bedanya, mereka membuat film yang ( katanya ) lebih bermutu, lebih mempunyai nilai seni dan lebih edukatif. Jadi, hak masyarakat untuk mendapatkan tontonan yang ( katanya ) lebih bermutu dikalahkan oleh kepentingan bisnis.

Dikalahkan oleh kekhawatiran film mereka tidak akan diterima oleh masyarakat. Mereka seperti tentara yang kalah sebelum bertempur. Pengecut! Padahal seringkali para pekerja film tersebut menekankan pentingnya tontonan yang mencerdaskan, tontonan yang “bergizi” dan yang tidak membodohi masyarakat.

Dalam hal ini saya memberikan penghormatan yang besar kepada mereka yang menghasilkan film Kala. Tema yang ditawarkan dalam film ini berbeda dengan kebanyakan film Indonesia, bahkan lumayan berat dengan memasuki persoalan politik, tetapi produser mempunyai keberanian untuk memutarnya secara luas. Meskipun dari segi bisnis film ini tidak memberi keuntungan sesuai dengan yang diharapkan, tetapi paling tidak produser film Kala mempunyai keberanian serta menghargai hak penikmat film Indonesia untuk mendapatkan tontonan
yang bermutu.

Hal lain yang bisa disimpulkan adalah para pekerja film tersebut secara tidak langsung memberi penilaian yang lebih rendah, dengan kata lain penghinaan,
terhadap tingkat apresiasi masyarakat di kota tertentu terhadap sebuah hasil karya yang katanya “berbeda”.

Makanya mereka hanya memutar karya mereka di kota dimana masyarakatnya mereka anggap lebih bisa mengapresiasi karya mereka. Hal ini dikuatkan dengan
pernyataan produser The Photograph di salah satu media bahwa film mereka (The Photograph) tidak bisa dinikmati oleh masyarakat umum, bahwa The Photograph
adalah sebuah film dengan segmen terbatas. Kalau alasannya demikian, indikator apa yang mereka pakai hingga mereka bisa dengan mudahnya “menghukum” penonton di kota tertentu dengan tidak memberi kesempatan untuk menikmati film karya mereka? Jumlah penonton? Sungguh pemikiran yang picik lagi dangkal, serta mencerminkan kesombongan mereka kalau memang besar kecilnya penonton menjadi tolok ukur mereka.

Pemikiran tersebut bisa diindikasikan sebagai kurangnya penghargaan terhadap tingkat apresiasi masyarakat di kota tertentu. Kalau memang begini, bagaimana masyarakat Indonesia bisa menghargai film karya anak bangsa, kalau ternyata para pembuat sendiri tidak bisa memberikan penghargaan yang sama antara penonton di kota yang satu dengan penonton di kota lain.

Kalaupun mereka menganggap masyarakat di kota tertentu mempunyai tingkat apresiasi yang lebih rendah terhadap karya yang “berbeda”, mengapa mereka tidak
merintis usaha untuk meningkatkan daya apresiasi masyarakat tersebut dengan memutar film mereka di kota yang bersangkutan? Paling tidak hal tersebut akan
dihargai sebagai suatu hal yang mulia dan sejalan dengan apa yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Apakah mereka tidak belajar dari Denias, Senandung di Atas Awan dan Naga Bonar jadi 2 yang meskipun menawarkan tema yang “serius”, tapi dengan strategi
dagang yang tepat bisa diterima oleh masyarakat luas. Mungkin ini yang harus diperhatikan dan menjadi tantangan oleh para pekerja film, yakni bagaimana mereka menjual hasil karya mereka secara luas, bagaimana karya mereka tidak hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas saja atau sebatas untuk diikutkan
festival.
Jadi para pekerja film diharapkan tidak hanya bisa menghasilkan karya yang bermutu, tetapi juga bisa menjual karya mereka. Rasanya tidak asyik kalau karya kita hanya diapresiasi oleh kalangan terbatas saja. Kalaupun mereka sudah cukup puas karya mereka mendapatkan pujian dan penghargaan dari pihak tertentu tanpa mempertontonkannya secara luas, rasanya seperti masturbasi saja.

Untuk sedikit mengurangi kekecewaan saya terhadap mereka yang merilis film secara terbatas, saya mencoba untuk berpikir positif. Mereka tidak bisa merilis film mereka secara luas dikarenakan terbatasnya dana untuk menggandakan film mereka. Tetapi hal ini memancing pertanyaan lain dalam benak saya. Kalaupun memang hal tersebut yang menjadi penyebabnya, bukankah kota lain bisa mendapatkan giliran setelah film tersebut turun layar di kota yang lebih dulu memutarnya?

Satu hal yang pasti, penikmat film Indonesia berhak menikmati film bagus dan bermutu karya anak bangsa! Jangan diskriminasikan kami.

Sebagai catatan: penulis tinggal di wonogiri.

Children of men : jaga bayimu


[oleh hery subyanto]

Apa yang harus kita lakukan ketika dunia yang kita tinggali penuh dengan kerusakan akibat perang, polusi, bencana dan manusia semakin terkotak-kotak? Dunia ketika para wanita sudah tidak bisa menghasilkan keturunan. Jawabannya adalah "JAGALAH BAYIMU!"


Jawaban ini yang aku tangkap dari film Children of Men yang disutradarai Alfonso Cauron. Sutradara ini sebelumnya menghasilkan Y Tu Mama Tambien dan Harry Potter 4. Seperti kedua film tersebut, Children of Men dipenuhi dengan gambar-gambar yang suram. Inggris di tahun 2027 digambarkan dengan suasana kelabu, penuh kekacauan, jumlah imigran yang semakin merepotkan dan para wanita di dunia digambarkan mandul oleh sesuatu yang belum diketahui.

Film ini mencoba membuka mata kita akan pentingnya generasi penerus dengan cara yang menurutku cukup ekstrem. Generasi yang dimaksud disini adalah generasi tanpa dilihat dari mana dia berasal. Tapi dilihat sebagai MANUSIA, yang keberadaannya wajib dan harus diselamatkan. Secara tidak langsung film ini seakan mengingatkan pembantaian dalam bentuk apapun adalah tindakan yang tidak bisa dimaafkan.

Kisahnya sendiri fokus pada upaya Clive Owen untuk menyelamatkan seorang wanita kulit hitam yang diketahui bisa hamil. Dalam perjalanan tersebut kita disuguhi dengan beberapa adegan yang cukup menghentak. Alfonso Cauron begitu piawai menjaga ritme film yang diangkat dari novel PD James ini. Tidak heran film ini masuk nominasi Oscar 2007 untuk Best Adapted Screenplay.

Film ini sangat kuat dari segi visualnya. Adegan - adegan diambil cukup lama tanpa membosankan. Ada satu scene yang membuatku kagum, yakni adegan pertempuran di akhir film. Adegan tersebut diambil tanpa cut sama sekali. Padahal durasinya sangat lama. Kamera secara intens merekam kemanapun Clive Owen bergerak dalam space yang cukup rumit dan lebar. Aku membayangkan sebelum diambil dan direkam, mereka latihan terlebih dahulu. Kereeen!!!

Oscar saja memasukkan editing dan sinematografi film ini ke dalam nominasinya.
Berbeda dengan film yang menggambarkan masa depan, film ini termasuk yang realistis dalam penggambarannya. Eropa yang semakin dipenuhi imigran sangat mungkin terjadi, kaum Arab yang semakin terpinggirkan, gerakan perlawanan yang muncul dimana-mana menurutku sangat mungkin terjadi 20 tahun mendatang.

Film ini semakin asyik dengan penampilan total dari Clive Owen. Karakternya asyik banget. Tidak hitam putih. Sebuah film yang wajib tonton. 3,5/5
Note: Apapun yang mereka lakukan, apapun yang mereka katakan .... JAGALAH BAYIMU!

Hantu Bourne


[oleh hery subyanto]

Kalau ditanya film ( Hollywood ) apa yang paling asyik dilihat di tahun 2007 ini? Jawabannya dengan pasti adalah The Bourne Ultimatum!
Film ini menawarkan aksi secara mempesona dan simultan. Ceritanya sentiri tidak beranjak dari dua film sebelumnya, kita diajak menyaksikan aksi kejar-kejaran antara CIA dengan Bourne. Sisi menarik dari trilogi Bourne menurutku memang bagaimana usaha dia dalam meloloskan diri dari pihak-pihak yang berusaha mengejarnya. Film adu pintar semacam ini memang selalu menarik dilihat seperti dalam Face/Off, Inside Man, Seven ataupun The Negotiator.


Bourne ini seolah-olah hantu yang membuat CIA tidak tenang. Ironisnya hantu tersebut diciptakan oleh mereka sendiri. Dari yang aku saksikan aku membayangkan apakah hantu seperti Osama bin Laden ataupun tokoh-tokoh lain yang menjadi target pembunuhan pemerintah AS juga merupakan kreasi dari AS? Kalau ditarik ke belakang cerita jenis ini sebenarnya sudah ada sejak tokoh Frankenstein diciptakan.

Film ini juga menggambarkan bahwa senjata yang paling ampuh untuk menghancurkan musuh bukanlah pistol, rudal ataupun bom, tapi ide-ide, dogma ataupun doktrin yang merasuki pikiran. Sebuah kejahatan yang tidak bisa dibuktikan. Aku jadi teringat dengan Tirai karya Agatha Christie, dimana Hercule Poirot bunuh diri karena tidak bisa menangkap seorang penjahat yang menggunakan "lidahnya" sebagai alat membunuh, karena tidak bisa dibuktikan.

Kembali ke Bourne. Film ini dipenuhi adegan-adegan yang menguras nafas dan gelengan kepala. Terus terang melihat film ini aku banyak menahan nafas melihat Bourne yang hampir tertangkap berkali-kali meskipun dalam pikiran sudah tahu film akan berkahir dengan manis, semanis senyum Julia Stiles di akhir film.Takjub juga melihat betapa pintarnya Bourne mengakali lawan-lawannya. Terutama adegan ketika dia memasuki kantor ...... ( sensor ) dan kagum juga ternyata adegan di akhir seri kedua ditampilkan di tengah-tengah film.

Kisah Bourne tidak afdol tanpa adegan car crash yang dahsyat. Car Crash di seri ketiga ini benar-benar dahsyat. Kalau ada sutradara yang bisa menghasilkan adegan Car Crash yang lebih dahsyat, berarti sutradara tersebut memang benar - benar HEBAAAT.
Penggunaan hand held kamera semakin memperkuat cerita. Kita sekan-akan diajak "mengintip" segala polah tingkah tokoh yang ada di film ini. Menurutku jenis pengambilan seperti ini sangat sesuai dipakai dalam film-film bergenre spionase, karena erat kaitannya dengan pengamatan.

Film ini juga mengajak kita melintasi berbagi negara. Tangier itu negara apa bukan ya?Hehehe
Geografiku payah banget.
Film ini sangat menghibur, jadi segera tonton kalau ada waktu luang. 3,5/5

Sunday, August 12, 2007

Page 3


Dunia selebriti selalu asyik untuk diikuti. Sebuah dunia yang terlihat gemerlap. Tetapi apakah memang begitu kondisi sesungguhnya? Kalau kita melihat Page 3, maka kita akan dibuat percaya bahwa dunia selebriti memang dunia yang akrab dengan hal-hal yang ”menyilaukan”.
Page 3 adalah sebuah film buatan Bollywood, yang di tahun 2006 kemarin, selain masuk jajaran film terlaris juga mendapatkan banyak pujian. Mungkin kita sedikit meremehkan film India. Tapi Page 3 ini menurutku film India yang mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan film India yang lain, yang menawarkan drama yang berlebihan, serta diiringi musik dan goyang pinggul. Musik dan goyang tetap dihadirkan dalam film ini. Tapi sangat kontekstual. Musik dan tarinya sebenarnya sangat biasa, tapi lirik lagu-lagunya begitu menohok. Page 3 ini ditulis berdasar kisah nyata seorang wartawan. Hal inilah yang menyebabkan apa yang disajikan di layar menjadi tidak berlebihan seperti halnya film India yang lain. Film ini secara frontal dan jujur menggambarkan dunia selebriti yang penuh dengan kepalsuan dan kesombongan, dan gaya hidup drug, sex and party. Hampir di sepanjang film, segala ironi yang ada di dunia selebriti disajikan secara gamblang., sekaligus nyinyir. Yang dimaksud dengan Page 3 disini adalah kolom dimana didalamnya berisi berita – berita orang – orang kondang. Dengan kata lain Infotainment. Awal film berjalan agak lambat, tetapi setelah sepertiga durasi film ini menjadi lebih enak dinikmati. Film ini semakin istimewa karena para bintang pendukungnya, namanya masih sangat asing ditelinga. Ketidakterkenalan mereka justru semakin membuat film ini lebih membumi dan realistis. Dalam Page 3 juga digambarkan kehidupan seorang wartawan pemula dengan segala konfliknya, terutama pergulatan dalam dirinya. Tokoh utama digambarkan seorang yang masih muda, fresh graduate dengan idealisme tinggi. Pergulatan batin si tokoh utama makin tajam ketika pada suatu saat dia dihadapkan kepada pilihan yang mengusik nuraninya. Aku tidak tahu apakah kebanyakan temen-temen yang bekerja di media juga mengalami hal tersebut. Tapi menurutku, pergulatan batin seperti yang dialami oleh si tokoh utama dalam Page 3 juga dialami oleh kebanyakan dari kita. Buat temen-temen yang kerja di media, film ini bisa dicoba. Lumayan kok. 3/5 NB : setelah melihat Page 3, aku liat seri Entourage musim pertama. Serial ini juga menggambarkan dunia hiburan. Berbeda dari Page 3 yang melihatnya dari mata wartawan. Di Entourage, kita diajak menelusuri dunia hiburan lewat pelaku dunia hiburan. Film ini penuh dengan adegan – adegan dewasa ( seks, boob, butt, and breast). Kehidupan selebriti dalam Entourage digambarkan setali tiga kutang dengan yang digambarkan dalam Page 3, tapi dengan gambar-gambar yang lebih vulgar. Maklum Hollywood. Dialog-dialog dalam Entourage, seperti komedi produk AS lainnya, lucu dan cerdas. Asyiknya serial ini adalah hadirnya bintang Hollywood betulan sebagai bintang tamu seperti Mark Wahlberg (produsernya soalnya), Jessica Alba, Scarlett Johannson, Luke Wilson, dll.

Thursday, August 9, 2007

Bali bombings recreated on screen



Bali bombings recreated on screen
By Lucy Williamson
BBC News, Jakarta

For the first time since the bomb attacks in Bali four years ago, an Indonesian film company has tackled the subject on screen.
Scene from Long Road to Heaven
The horror of the 2002 bombings in Bali are relived on screen
Long Road to Heaven, which opens in Indonesia on Thursday, tells the story that has defined Bali's recent past - fictionalised through the eyes of those who planned the attacks, and those who survived them.

Two hundred and two people died in the attacks, most of them foreign tourists.
This year will mark the fifth anniversary of the bombings - time, according to producer Nia Dinata, to revisit the lessons of the attacks.
Sitting in her office, surrounded by posters of the new movie, she said the film was less about terrorism than about the underlying issues.
"I hope to bring back the conversation in Indonesia about tolerance and humanism," she said.
"And part of that is having an understanding about the Bali issue."
'Human side'

The film weaves together the stories of three characters who live through the planning, execution and aftermath of the attacks.

Director Enison Sinaro
We don't want people saying we're giving Islam a bad name, or degrading Islam - it's nothing of the sort

But it also spends a lot of time exploring the relationships between radical Muslims within Jemaah Islamiah - the shadowy Islamist group behind the plot itself.

For director Enison Sinaro, fleshing out the now-notorious figures was a key part of what the film wanted to do.
"These characters are important to the movie," he said, "and to the whole process. So we really wanted to get inside their heads and show their human side.
"That's why we showed the bombers not being able to drive, or playing with pornographic material on the internet."
Mr Sinaro is not expecting everyone to like the film, but he said he hoped that people would not over-react to it.
"We don't want people saying we're giving Islam a bad name, or degrading Islam - it's nothing of the sort. And we don't want to have to give in to that kind of pressure."

Mixed reaction
Some people got a sneak preview of the film in Jakarta this month.
And there was a fairly mixed reaction on the steps of the cinema after the showing.
Scene from Long Road to Heaven
The film raises questions about the meaning of Islam
Some felt Long Road to Heaven did a good job of portraying the widely different attitudes of Muslims in Indonesia.

Others thought the film's complicated structure would leave audiences behind.
A third group felt that the film was sending a message that Bali had indeed become too liberal.
Three of the bombers portrayed in the film are currently in prison, and awaiting execution.
Indonesia has learned to fear Islamic extremism within its borders. Its counter-terrorism forces have made hundreds of arrests since the attacks.
But the questions raised by Long Road to Heaven are still unanswered: How can Indonesia resolve the debate over what Islam means here?

Monday, August 6, 2007

BENAR-BENAR BIASA dengan kata lain BUKAN BARANG BARU (baca : BBB )


by hary subiyanto

Sejak dulu, kita sudah diajarkan untuk tidak berpengharapan terlalu tinggi karena pada akhirnya hanya akan menemui kekecewaan. Inilah yang terjadi setelah melihat Bukan Bintang Biasa The Movie.

Pada saat Melly berencana meluncurkan filmnya, dalam benak (penulis) muncul film remaja yang lain daripada yang yang lain. Yang tidak hanya menawarkan kisah yang dangkal dengan menyuguhi kisah cinta remaja dan segala hura-huranya.




Cerita yang tidak hanya menawarkan mimpi tapi juga menyuguhkan realita yang ada. Ternyata apa yang ditampilkan di layar adalah sesuatu yang BENAR-BENAR BIASA dengan kata lain BUKAN BARANG BARU (baca : BBB ).

Bukan Bintang Biasa hanyalah kisah seputar 5 orang remaja mahasiswa yang diributkan dengan masalah cinta(?). Padahal kalau film ini lebih focus pada pengembangan karakter (building character) kelima tokohnya, film ini akan lebih “berisi”. Saya tidak
menabukan kisah percintaan remaja.

Kebetulan sebelum melihat Bukan Bintang Biasa, saya melihat film-film dengan tema sejenis semacam Step Up, Honey, Take the Lead, High School Musical dan The Holiday. Untuk judul
yang terakhir adalah film produk Bollywood. Film-film yang saya sebutkan tadi sama-sama menggunakan seni sebagai sarana aktualisasi para tokohnya yang masih remaja, bahkan untuk High School Musical para tokohnya digambarkan masih SMP. Meskipun didalamnya tetap
dibumbui kisah percintaan, tapi bukanlah suguhan utama.

Berbeda dengan BBB yang tokoh-tokohnya out of reach, dalam film-film yang saya tonton tersebut, tokoh-tokohnya begitu membumi. Mereka digambarkan remaja biasa-biasa saja, kadang digambarkan sangat bermasalah, yang pada perkembangannya menjadi pribadi yang luar biasa dengan berhasil mengalahkan musuh terbesar mereka yakni diri mereka sendiri. From zero to hero. Hal ini tidak nampak pada BBB, sehingga sulit bagi penonton untuk larut dalam cerita yang disuguhkan. Tokoh-tokoh yang digambarkan dalam BBB, meskipun pada awal film diperkenalkan dengan segala kekurangan mereka, tapi bagi penonton, karakter mereka tetap “wah”. Hal ini ditunjang dengan segala gaya yang melekat pada mereka, seperti baju , mobil ataupun gadget yang mereka bawa.

Drama yang ditawarkan tidak begitu kuat. Mungkin cerita yang ditawarkan akan mendapat sedikit pemakluman apabila para tokohnya digambarkan masih SMP. Agak tersinggung juga, para tokohnya yang mahasiswa digambarkan seperti itu. Tidak ada semacam passion dalam para tokohnya ketika beraktualisasi dengan seni yang mereka pilih. Mungkin ini terpengaruh
dengan padatnya jadwal para pemeran film ini, sehingga pendalaman karakter mereka sangat kurang. Kurang disiplin dalam latihan.Atau mungkin salah kasting. Ending film semakin memperparah film. Kelima tokohnya menyanyi bersama di atas panggung dengan koreografi
yang amat sangat tanggung! Idealnya mereka bersinergi sesuai seni yang mereka dalami. Bukan malah bernyanyi bersama. Pentas seni harusnya dimanfaatkan oleh para tokohnya untuk unjuk gigi kemampuan yang mereka miliki. Puncak kehebohan harusnya terjadi pada akhir film.

Poin pisitif dari film ini adalah warna-warna cerah yang lumayan menyejukkan mata, Bella yang
dieksploitasi dari berbagai sudut ( nih anak bener-bener amat sangat segar sekali ) dan musik yang segar. Untuk musik, sayang sekali materi yang sebenarnya sudah asyik tidak dimanfaatkan secara maksimal. Ada beberapa adegan yang kurang pas dalam memasukkan musiknya. Motongnya tidak pas. Dari penampilan bintang pendukungnya, penampilan
Chintami Atmanegara lumayan segar dengan logat Sunda-nya yang genit. Paundra juga bisa tampil sebagai sosok yang invisible.

Kalau penonton film ini mencapai 1 juta, Melly berencana membuat sekuelnya. Saya berharap kalau hal tersebut bisa terwujud, Melly bisa membuatnya dengan lebih “bijaksana” dengan lebih berpihak pada perkembangan karakter yang lebih membumi. Tidak hanya menjual mimpi. Dan semoga saja harapan saya tidak hancur nantinya.

Bagi yang mempunyai duit dan waktu berlebih, boleh-boleh saja liat film ini. Terutama bagi yang pengin diet, karena film ini bisa menyiksa lemak kalian hingga mampu mencairkannya. Yang lagi puyeng, disarankan untuk tidak melihat film ini. 1,5/5

Saturday, August 4, 2007

Selamanya : Untung (masih) Ada Sekar!



by wayan diananto

Anda penggila musik Indonesia? Jika ya, tentu Anda mengenal nama Sekar Ayu Asmara. Namanya muncul dipengujung dekade 80-an, kala berkolaborasi bersama Fariz RM dan Dorie Kalmas dalam ‘Susi Bhelel’. Lagu ini berkisah tentang jablay SMP yang belakangan dibooking oleh ayah kandungnya sendiri. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas. Beberapa waktu yang lalu saya menonton ‘Selamanya’. Film yang memasang Dimas Seto dan Julie Esttele ini skenarionya digarap oleh Sekar. Film bercerita tentang sepasang kekasih Bara (Dimas) dan Aristha (Julie) yang berpacaran sembari ngedrugs sejak SMU.

julie estelle

Setelah lulus dan putus, Bara menjalani proses rehab hingga menjadi seorang konseling. Sementara Ar semakin tak terkendali. Hidupnya semakin kacau. Tanpa disengaja, Bara yang sudah bertunangan bertemu kembali dengan Ar di kantor polisi. Cinta lama sekian tahun silam bersemi kembali.

Dari segi akting, Julie tampak lebih total. Diet menguruskan badan demi menjiwai peran sebagai pengguna drugs berujung pada peningkatan mutu akting. Dimas mampu mengimbanginya. Kemistri mereka sangat kuat terutama saat Bara berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan Ar dari ketergantungan narkoba. Menyentuh sekaligus menguji kemampuan akting kedua muda ini.
Dari segi karakter, yang mencuri perhatian adalah karakter yang dimainkan Masayu. Sebagai penari erotik yang setia kawan, ia mampu menghidupi atau setidaknya menyemarakkan film yang didominasi gambar suram ini. Sayang, Masayu kurang total lantaran menggunakan stuntwoman. Sempat juga saya dan mbak Heny kangen – kangenan dengan Ita mustafa. Aktris layar lebar yang telah lama menghilang namun sempat saya lihat kiprahnya bersama Adi Kurdi dalam ‘Bukan Istri Pilihannya’.

Selamanya adalah sebuah cerita cinta remaja. Namun memiliki setting yang serba indah dan penuh dengan penjelasan. Anda tidak perlu repot untuk mengikuti alur ceritanya. Tak seperti cerita cinta layar lebar yang belakangan mengabaikan logika, setting dan penokohan, Selamanya memang hadir dengan alasan yang kuat sekaligus pesan yang jelas. Saya tak punya referensi film – film Sekar sebelumnya.

Beberapa filmnya terdahulu seperti Biola tak Berdawai, Belahan Jiwa, dan Pesan dari Surga luput dari
perhatian saya. Yang saya tahu, Sekar adalah penulis lirik ulung. Tak percaya, coba dengar lagu – lagu Rita Effendy seperti ‘Telah Terbiasa’, ‘Saling Setia’, ‘Januari di Kota Dilli’ dan ‘Perempuan’. Memang sukses Rita tak luput dari peran Sekar sebagai produser di Aquarius. Romantisme Sekar dalam lirik lagu pun sudah bisa saya bayangkan sebelum menonton Selamanya. Benar saja, setelah film berjalan 50% Sekar mulai menebarkan sengat roman. Dialog – dialog antara Ar dan Bara mulai
tak biasa. Hingga ending yang amat dramatis.

Yang menjengkelkan malah performa Ada Band dalam membuat soundtrack demi membangkitkan ruh film. Lagu akal sehat hanya muncul sepintas dalam adegan mendengar radio. Belahan jiwa, lagu perpisahan ini justru dipakai untuk mengiringi berseminya kembali cinta Ar dan Bara. Cocokkah? Sementara satu lagu lainnya dipasang sebagai pengiring credit title. Lalu apa fungsi 9 lagu lain dialbum cinema strory? Lagu – lagu lainnya hampir useless, maklum saja band ini memang mengaku kesulitan dan baru kali pertama membuat soundtrack.

Ah, seandainya saja lagu – lagu dan lirik Selamanya dikemas sendiri oleh Sekar!!! Padahal Sekar punya relasi yang amat hangat dengan sejumlah petinggi musik dinegeri ini. Addie MS, Seno Harjo, Rita Effendy, Yana Julio, Andi Rianto dan lain-lain. Mereka begitu mumpuni, bisa saya bayangkan jika benih romantisme disemai dengan orkestrasi klasik Addie MS, ditingkahi vibrasi Yana dan Rita, dan lirik – lirik menggugah rasa ala Sekar tentu film ini makin total! Atau Ada Band memang ditempatkan di garda terdepan sebagai magnet penarik perhatian khalayak luas (remaja)? Atau subjektivitas saya yang berlebihan?

Ditengah krisis ide cerita cinta yang nampak makin seragam dalam industri film kita, ide – ide cerita yang diusung Sekar tergolong apik. Kalau Anda berpikir ide – ide brilian Mira Lesmana, Nia Dinata, Riri Riza bahkan Rudi Sudjarwo tergolong berat, maka cerita ala Sekar bisa jadi alternatif yang lebih ringan, menghibur namun tidak kosong belaka. Setelah menonton Selamanya, saya berkata dalam hati, “untung, Sekar masih produktif!"

Thursday, July 26, 2007

Film BBB Diluncurkan




Sumber: Warta Kota

Kelompok Bukan Bintang Biasa (BBB) yang terdiri dari lima pesinetron muda kini tak hanya tampil sebagai penyanyi bersama Melly Goeslaw, melainkan juga dalam sebuah film.
pengen review/prediski dari kine kluber asli baca di sini

Kelima pesinetron itu, yakni Raffi Ahmad, Laudya Cynthia Bella, Ayushita, Chelsea Olivia, dan Dimas Beck, main dalam film yang berjudul sama dengan nama kelompoknya. Film produksi Maxima Pictures itu juga didukung oleh Paundrakarna, Chintami Atmanegara, Joshua Pandelaki, dan Miller, artis bintang asal Malaysia. Ada pula Camelia Malik dan Denny Malik sebagai cameo.

Film ini merupakan gagasan musisi Melly Goeslaw, yang didukung suaminya, Anto Hoed, untuk urusan musik. Agar filmnya berkualitas, Melly bekerja sama dengan sutradara Lasja I Susatyo serta penulis skenario Lina dan Titien Wattimena.

Menurut Melly, pembentukan kelompok BBB yang kemudian dibuatkan filmnya merupakan obsesinya sejak 3 tahun lalu. Untuk itu, dia memperkenalkan personel BBB lewat lagu Let’s Dance Together. "Ini cara untuk memperkenalkan BBB. Ternyata, tanggapan masyarakat sangat baik. Notabene, anggotanya bisa berakting. Jadi kalau berhenti di musik, sayang. Maka, dibuatlah film ini," jelas Melly saat ditemui di sela peluncuran film Bukan Bintang Biasa di 21 Djakarta Theatre, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Namun, putri penyanyi senior Melky Goeslaw itu menginginkan film BBB bukan sekadar bertujuan komersil. Melly memimpikan, film itu merupakan film drama musikal. "Tapi, ternyata sulit. Kalau mau membuat film drama musikal yang bagus, butuh waktu dua tahun untuk latihan menyanyi dan koreografi. Saya enggak mau pemain nyanyinya lipsing. Tapi, saya janji, kalau film ini sampai satu juta penonton, saya akan buat sekuel-nya," ucap Melly.

Pembuatan film BBB dilakukan bukan dengan jadwal syuting film biasanya. "Semua pemain berkorban. Manajemen kita disatukan jadwalnya, biar latihan reading, dan syuting bareng selama 24 hari," kata Bella.

Film itu mengisahkan lima remaja yang baru lulus SMA dan melanjutkan kuliah di institut seni. Mereka mengambil jurusan seni yang berbeda, sesuai dengan yang diimpikannya selama ini. Misalnya, menjadi penari balet, pemain piano, violis, penari modern, dan pemain teater. Dalam perjalanannya, kelima remaja itu terlibat masalah percintaan satu sama lain.


Wednesday, July 25, 2007

The Host: pentingnya keluarga demi sebuah generasi


[by hery subyanto]
Nih film ternyata asyik banget.

Meskipun bercerita tentang monster tapi tidak mengurangi "ISI" yang ingin disampaikan ma film ini.

Film ini lumayan komplet. Ada komedi, ada tragedi, ada tegangnya. Buat yang mengharapkan kisah percintaan, ditunda dulu ya. Film ini lebih menyoroti cinta kasih antar anggota keluarga. Mengharukan, Aku membayangkan kalo film ini digarap ma Hollywood.
Jelas akan lebih HEBOH dengan efek visual dan musik yang mengguncang, tapi aku gak yakin akan "ISINYA" dan dengan ending yang tidak secerdas yang ditampilkan oleh film ini.

Film ini juga banyak menampilkan sindiran-sindiran yang disampaikan secara halus. Lucu! Dan yang menyenangkan hatiku, segala kekacauan yang
muncul di film ini disebabkan oleh kebodohan para makhluk berkulit putih (Amerika?!)

Karakter-karakter yang ada juga digambarkan mewakili berbagai pihak.
Adegan favoritku ada di akhir film ketika si tokoh utama bertanya pada anak kecil waktu makan malam bersama "acara tv apa yang ingin kamu tonton?"
Si anak kecil menjawab "SUDAH KITA MAKAN SAJA!"

Sungguh sebuah jawaban yang cerdas...... .....3,5/ 5

Friday, July 20, 2007

Film terbaik dan terburuk



[by hery subyanto]

Salah satu lembaga di Amerika mengumpulkan review film yang ada sepanjang Januari – Juni 2007, dan mereka
hitung hingga didapatkan daftar film terbaik dan terburuk di semester I tahun 2007 ini. Berikut daftar tersebut:

TERBAIK ( film – film yang masuk kategori ”fresh” ):

1. Ratatouille ( malas liat film ini, soalnya protagonisnya tikus )
2. Away From Her
3. Once
4. Knocked Up ( pengin banget liat film ini, sutradaranya pernah nelorin 40 Year Old Virgin )
5. Hot Fuzz ( katanya sih menawarkan komedi action yang segar, pengen liat juga soalnya nih film produk Inggris)
6. Sicko ( satu lagi persembahan penuh controversial dari penghasil Fahrenheit 9/11)
7. The Host ( film Korea terlaris tahun lalu yang juga banyak menyabet penghargaan di berbagai festival, termasuk Festival Film Asia. Nyari belum dapet nih )
8. Zodiac ( hasil karya sutradara yang pernah
menghasilkan Seven yang cerdas dan mencekam )
9. Waitress ( ada Keri Russel yang memang sudah segar) ---
gambar diatas adalah film Waiterss yang ada si Kery Russel yang seger
10. The Lookout ( pernah liat promonya yang
keliatannya memang seru )

TERBURUK ( Rotten ) :
1. Because I Said So ( chemistry Diane Keaton dengan
Mandy Moore memang asyik, tapi beberapa adegan mereka terlalu penjang dan membosankan. Adegan lainnya
sebenarnya cukup bisa memancing tawa, terutama adegan balon nempel )
2. The Number 23 ( Jim Carrey lagi – lagi apes )
3. Premonition ( posternya padahal bagus banget )
4. The Reaping
5. Norbit
6. Perfect Stranger ( film yang membuatku penasaran,
Halle Berry diapain aja ma Bruce Willis )
7. Happily N’Ever After ( kartun biasa )
8. Are We Done Yet ?
9. Code Name : The Cleaner ( kayaknya Lucy Liu
istirahat saja dulu )
10. Hannibal Rising ( gak ada Anthony Hopkins sih )

Film – film HEBOH ternyata gak masuk daftar terbaik ataupun terburuk. Berarti dengan kata lain film – film
HEBOH tersebut hanyalah film yang biasa – biasa saja.

The Painted Veil : kisah cinta biasa yang istimewa


[by Hery Subyanto]

Film ini layak kalian tonton. Kisah cintanya memang biasa tapi oleh sang sutradara, John Currant, kisah biasa tersebut dapat disajikan menjadi sesuatu yang sangat enak dinikmati. Unsur hiburan dari film ini sangat tinggi, tanpa harus menghianati akal pikiran penonton. Cerita yang biasa menjadi istimewa ketika dibalut dengan gambar yang indah, pemain yang tepat dan alunan musik yang pas. Bagi teman-teman yang rindu akan hadirnya film percintaan yang bisa diterima akal, film ini layak dilihat. Di Jakarta lagi main kan? DVD bajakan originalnya juga dah ada. Jangan dilewatkan. Dan lagi di film ini Naomi Watts terlihat sangat cantik ( menurut seleraku! ) 3,5/5 NOTE: Kesannya aku banyak waktu luang ya, liat film terus. Tambahan review dari CH Henny Chenilus ah...biasa neh film...pantesan ngga ada gaungnya.... untung ga beli DVDnya...mendingan good yearnya...Ridley Scott n Crowe deh...film ini mengingatkanku akan film apa ya.. pokoke...wes tau..neh ntn film gini.... 2.5/5 dariku.

Perfume : The Story of A Murderer


[by Hery Subyanto]


Jarang sekali sebuah novel yang diangkat ke layar lebar mampu memuaskan pembacanya. Sesuatu yang wajar
sebenarnya mengingat media yang berbeda. Dulu ada The Silence of the Lambs yang menurutku mampu menuangkan isi buku ke dalam gambar yang tepat. Dan kini ada Perfume : The Story of A Murderer.
Sebuah komunitas atau masyarakat umumnya mensyaratkan sesuatu hal yang menjadi pengikat antar para anggotanya.

Ketika ada yang berbeda, maka dia akan dianggap tidak layak masuk kedalam kelompoknya. Dia adalah ”yang lain” atau the others. Penekanan ini seringkali membuat sengsara pihak yang dilainkan tadi, karena dia merasa tidak berharga di lingkungan dimana dia tinggal. Sehingga dia merasa terpinggirkan. Masyarakat tidak menyadari bahwa sikap mereka yang memarjinalkan ”the other’ dapat memunculkan penyakit yang pada akhirnya merugikan mereka sendiri.

Hal inilah yang menurutku ingin disampaikan Tom Tyker, Sutradara Jerman yang beken lewat Run Lola Run, lewat Perfume : A Story of Murdere. Si tokoh utama bisa dikatakan sebagai sampah masyarakat di mana dia tinggal. Sesuatu yang bukan kemauannya, karena sejak bayi, dia sudah dihadapkan pada kejamnya dunia, jadi wajar saja dia tidak mempunyai ”rasa”.

Hal ini diperparah ketika dia menyadari bahwa dirinya tidak mempunyai bau badan. Sehingga oleh orang-orang disekitarnya dia dianggap aneh ( sayang hal ini kurang tergambarkan di filmnya ). Keadaan ini menyebabkan si tokoh utama merasa ada yang kurang dalam dirinya meskipun dia dianugrahi dengan penciuman yang suaaangat tajam. Maka, terobsesilah dia dengan segala macam bau. Sampai akhirnya dia mendapati bahwa bau yang paling murni ( paling menggairahkan dirinya ) adalah bau para gadis yang masih perawan. Sejak saat itu dimulailah perburuannya akan bau gadis perawan.

Sadis dan mencekam. Film ini unggul dari segi teknis, terutama dalam penataan kamera dan editingnya. Perhatikan adegan ketika dia berusaha mengidentifikasi bau – bauan. Kereeeen! Tidak heran dalam Festifal Film Jerman, film ini banyak berjaya di bidang teknis ( sutradara dan penulis kisah ini berasal dari Jerman ).
Coba deh liat film ini. Dijamin puas, meskipun di awal film kita dibuat jijik. Pokoknya tonton aja. DVD nya dah ada. 3,5/5

Monday, July 16, 2007

BBB

[by hery subyanto]

Mencoba jadi peramal nih. Aku meramalkan BBB akan jadifilm Indonesia paling heboh tahun ini.Beberapa halyang akan membuat film Bukan Bintang Biasa menjadifilm Indonesia tersukses tahun ini:

1. Soundtracknya asyik.Setelah denger seluruh lagu di album soundtracknya,aku membayangkan filmnya akan sesegar lagu-laginya.Lupakan soal vokal mereka.
2. Bintangnya keren.Aku menulis "keren" bukan "keren-keren" karena di situada Laudya Cintya Bella, istri mudaku! Nih anak seger banget. Hehehe...
3. Promosinya gila-gilaanUntuk ukuran film Indonesia, promosi film ini termasukheboh banget.Gak akan heran kalau dalam beberapa hari kedepan,banyak media cetak hiburan yang menjadikan BBB sebagaicovernya.
4. Ceritanya bedaAku bayangin film ini akan seperti Step Up, yangmenyoroti dunia remaja tetapi tidak semata fokuskepada kisah cinta mereka, tetapi juga bagaimanamereka mengisi masa muda mereka dengan sesuatu yangberguna.
5. Film-film heboh sudah berlaluPesaing dari Hollywood udah pada lengser satu persatu.Film Hollywood yang akan rilis sekitar tanggalperilisan BBB ada Bourne 3 ( kurang populer untukorang Indonesia), Rush Hour 3 (aku sanksi ma film ini) dan (yang paling aku tunggu ) Simpson.

Di balik "keunggulan" tadi ada beberapa hal yangmungkin akan menghambat BBB:
1. Ada Chelsea, Raffi dan Dimas
2. Thriller nya yang sangat tidak menjual.
3. Capek dengan film remaja Indonesia.

Yang pasti kita yang di Solo PASTI liat film ini untukmenghormati teman kita yang mengidentikkan dirinyadengan Chelsea Olivia, yakni Rizka ArinindyaMARI

KITA NONTON BUKAN BINTANG BIASA!Karena?Ya karena BINTANG-nya BUKAN BINTANG BIASA