Thursday, June 28, 2007

maaf saya menghamili istri Anda

by wayan diananto

Ada kalanya kita menonton film lantaran kita terpikat pada judul. Nah, saya pun langsung terpikat pada film karya Monti Tiwa, maaf saya menghamili istri Anda. Judulnya yang terdengar “bangsat” langsung membuat saya yang juga…..ini bersegera mengagendakan film tersebut. Apakah filmnya juga “setengil” judulnya?

Jujur, openingnya saja sudah sangat mengecewakan. Gambar dengan kamera yang sangat televise. Dengan pewarnaan yang ala kadarnya membuat saya jadi setengah hati. Belum lagi opening ini sama dengan Pocong, tentu
dengan “greget” yang lebih menggetarkan Pocong.

Opening ini mungkin dimaksudnkan untuk menggelitik perut penonton tapi entahlah, saya juga tertawa sesekali meski ngilu juga dengan kualitas gambar yang jatuh. Maka dimulailah perjalanan seorang figuran sok improve yang senantiasa tak punya uang bernama Dibyo (Ringgo).
Dengan status keuangan “kemplang sana kemplang sini” tentu dia tak punya pacara dan mendapat preseden buruk dari orang sekitar.

Celakanya, ia dengan sok perlente menghadiri pesta ultah teman yang berujung pada acara bobok bersama Sang pemilik pesta. Kebetulan, Sang pemilik pesta yang bernama Mira dibawakan oleh Mulan Kwok. Belakangan baru diketahui bahwa Mira masih pisah ranjang dengan suaminya yang adalah preman. Dengan status mahajobless ini, Ringgo akhirnya mendapat
pekerjaan baru, yakni meyakinkan Sang Preman, bahwa istrinya aman ditangan Dibyo.

Saya tidak akan mendetailkan isi cerita, karena kemarin saya dituduh tukang spoiler sama teman saya setiap mereview di milis. Dari segi kasting, kok ya berkutat orangnya itu – itu saja! Si Preman diperankan
oleh bapak kos dalam Mengejar Mas2, dan juga pernah main di Pocong. Dan masih banyak lagi artis ala sinemart berkeliaran di film ini. Kenapa juga harus Mulan? Atau mungkin lebih tepatnya, kalau toh tetep keukeuh Mulan, kenapa juga tidak digembleng agar aktingnya lebih natural dan ‘pas.’ Sementara Shanty makin berkilau semenjak berbagi suami dengan Rieke Diah dan Ria Irawan. Ringgo sebenarnya pilihan yang pas, tapi tetap saja hal yang sebenarnya lebih bias digali dari pada sekadar Dibyo yang sekarang.

Saya paling terganggu dengan kualitas gambar. Sangat FTV namun scenario semacam ini memang riskan jika dipajang di layer beling. Tentunya, jika nekat dipajang dilayar beling akan banyak scene yang dikepras! Mungkin, karena Monty Tiwa sejatinya bukan sutradara dan mencoba mengembangkan bakat (untuk menggantikan kata ‘nekat’) menjadi sutradara, maka begitulah gambar – gambar yang muncul. Untuk sebuah mahakarya, tentu film ini jauh dari harapan. Sesal saya untuk film ini lebih kepada isi scenario yang seolah hanya mengajak kita untuk tertawa tanpa harus menemukan pesan dibalik tawa.

Sampai film ini berakhir saya masih bingung maksud dari film ini apa?
Ataukah saya yang geblek dengan IQ saya jongkok, ndeprok, ndlosor lan sak piturute? Sama – sama scenario karya Monty, saya merasa masih mending Mengejar Mas2, penuh kelakar, romantisme kasta bawah, namun sarat pesan moral. Barangkali Monty terlalu sibuk merumuskan kata – kata pemicu tawa, dan terlampau keras belajar jadi sutradara sampai lupa esensi film yang utama adalah menyampaikan satu pesan terhadap penontonnya. Atau barangkali ya itu tadi malah saya yang bloon karena gak nangkep maksudnya Monty? Entahlah…yang jelas saya selalu ingat kata Rudi Sudjarwo bahwa membuat film itu yang penting setelah penonton melihat film kita dan keluar dari bioskop, mereka “mendapatkan sesuatu” dari yang ditonton.

Thursday, June 21, 2007

Citizen Kane Film AS Terbesar


sumber Kompas, kamis 21-06-2007

Citizan Kane, film yang mengisahkan tentang seorang taipan media yang tak bermoral, kembali menduduki julukan sebagai film Amerika terbesar dalam jajak pendapat (poll) yang dilaksanakan Institut Film Amerika (AFI). Ini kali kedua, para kritikus, sejarawan dan pakar memberikan suara kepada Citizen Kane sebagai film paling terkenal AS untuk kedua kalinya dalam satu dekade. Menyisihkan kembali The Godfather, yang juga memiliki kans yang sama besar.


Hasil jajak pendapat diungkapkan dalam acara khusus CBS selama tiga jam bertajuk 100 Years, 100 Movies, 10th Anniversary Edition. The Godfather berada di urutan kedua. Setelah sebelumnya, pada satu dasawarsa silam, menduduki peringkat tiga dalam jejak pendapat 100 film terbesar di AS. Posisi ini menggantikan Casablanca yang merosot ke nomor tiga. Lonjakan besar datang dari film Raging Bull. Secara mengesankan menduduki posisi keempat dari nomor 24 pada 10 tahun lalu. Menyusul di posisi kelima Singin in the Rain.


Di posisi sepuluh besar, ada Gone With The Wind, yang menempati posisi keenam, disusul oleh Lawrence of Arabia, Schindlers List, Vertigo dan The Wizard of Oz. Vertigo, film Alfred Hitchcock yang dibintangi James Stewart, melonjak ke urutan kesembilan setelah menempati urutan ke-61 pada jejak pendapat sebelumnya. "Film Amerika senantiasa mencerminkan dan dalam banyak aspek, menunjukkan siapa kita," kata Presiden dan Kepala Eksekutif AFI, Jean Picker Firstenberg. Dia mengaitkan kian populernya DVD pada meningkatnya minat terhadap film bisu dan adikarya yang sering dipandang sebelah mata, seperti film The Searchers karya John Ford, yang meroket dari posisi 96 pada jajak pendapat sebelumnya ke peringkat ke-12.

Dari 43 film yang berhak dipilih yang dirilis dari 1996 hingga 2006, hanya Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring, Saving Private Ryan, Titanic dan The Sixth Sense yang masuk daftar. Keempat film masing-masing menempati peringkat 50, 71, 83 dan 89. Tambahan lainnya dalam daftar antara lain Cabaret, Who’s Afraid of Virginia Woolf?, The Shawshank Redemption, All The President’s Men, Spartacus dan Night at the Opera pada urutan ke 63, 67, 72, 77, 81 dan 85. (EH)

Wednesday, June 20, 2007

Skuel film Eiffel...I’m in Love


Sumber: Warta Kota

Setelah novel karangannya yang berjudul Eiffel...I’m in Love sukses diangkat ke dalam film layar lebar, penulis Rachmania Arunita berniat membuat skuel filmnya. Judul film itu adalah Lost in Love yang diambil dari novel terbarunya dengan judul yang sama.

Novelis muda itu mengatakan, Lost in Love tidak lagi menampilkan Sandy Aulia dan Samuel "Sammy" Rizal sebagai tokoh utamanya. "Meski sekuel, aku ingin menampilkan sesuatu yang benar-benar berbeda kemasannya. Makanya, aku menginginkan pemain yang fresh, wajah-wajah baru," ucap Nia saat jumpa pers di Hard Rock Cafe, Selasa (19/6).

Film Lost in Love bakal menampilkan pendatang baru di layar lebar, di antaranya Richard Kevin sebagai Adit dan Pevita E Pearce sebagai Tita.

Ketika disinggung soal kemungkinan Nia tidak puas dengan film sebelumnya sehingga menginginkan perubahan cerita dalam film Lost in Love, termasuk penggantian tokoh Sandy dan Sammy yang disinyalisasi mematok honor terlalu tinggi, Nia membantahnya. "Aku memang ingin ceritanya benar-benar beda. Kisah cintanya enggak menye-menye dan lebih universal. Jadi, enggak pakai Sandy dan Sammy bukan karena harga mereka terlalu mahal," ucapnya. Dia mengaku, terobsesi untuk menyuguhkan peran yang berbeda.

Selain menjadi jadi penulis cerita, Nia juga ingin menjadi eksekutif produser merangkap talent scout alias ingin memproduksi film sendiri. "Di Soraya Intercine Film (produsen film Eiffel...I’m in Love) aku kan tidak mungkin menjadi eksekutif produser. Jadi, film Lost in Love ini diproduksi lewat bendera yang berbeda," ujarnya. Nia juga merogoh koceknya untuk menggarap film perdanannya itu, tetapi dia menolak menyebut budget yang sudah dikeluarkan.

Untuk mencari delapan pemain cewek di Lost in Love, Nia menggelar audisi di lima kota. Dan peserta yang mendaftar sebanyak 1100 orang. "Aku yang casting mereka, dikarantina selama 3 hari bersama-sama," ujarnya yang yakin dengan pemain pilihannya.

Nia mengungkapkan, rumah produksi i-Trema yang akan memproduksi film itu bekerjasama dengan kru film asal Perancis. Karena, syuting film Lost in Love ini akan dilakukan di Perancis, seperti film Eiffel...I’m in Love. (yus)

Tuesday, June 19, 2007

China Gunting Adegan Film Pirates

[by Kantor Berita Antara]

Lembaga sensor Cina bertindak tegas terhadap film yang mereka nilai dapat merusak kebudayaan dan tatanan masyarakat. Ini mereka buktikan dengan menggunting sejumlah adegan dari sekuel ketiga film Pirates of the Caribbean, dengan alasan adegan tersebut memfitnah dan mencemarkan nama baik warga Cina.


Chow Yun-fat, harus rela beberapa aksinya dipotong lembaga sensor
Media resmi Cina, mengatakan gunting sensor telah memangkas sekitar 10 dari 20 menit adegan di mana bintang Hongkong, Chow Yun-fat, bermain sebagai seorang kapten perompak Cina. ''Keputusan memotong adegan Chow dan adegan lainnya diambil sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai sensor film dan kondisi aktual Cina,'' kata Zhang Pimin, wakil kepala Biro Film Negara Cina.
Zhang tak bersedia menguraikan alasan yang lebih rinci terkait pengguntingan itu.

Namun ia menjelaskan bahwa pemotongan beberapa adegan film tersebut tidak merusak kontinuitas alur ceritanya dan citra para tokoh cerita.
Menurut majalah Cina Popular Cinema, tokoh yang diperankan Chow dengan berjenggot, berkuku panjang, kepala botak, dan berwajah seram, masih sejalan dengan tradisi lama Hollywood dalam menggambarkan orang Cina. Mereka, tulis majalah itu, memperlihatkan bahwa dunia perfilman AS kurang memahami budaya lokal Sensor juga memotong sebuah adegan di mana Chow menyatakan 'Selamat Datang ke Singapura', karena adegan itu mengisyaratkan bahwa negara tersebut sebagai sarang perompak dan sudah memicu protes dari rakyat Singapura.

Kendatipun mengalami pemotongan, Zhang menyatakan film itu bahkan akan lebih sukses ketimbang Spider-Man 3 di Cina.

Terlaris setelah Titanic
Sekuel terakhir Pirates of the Caribbean ini telah mengantongi pemasukan sebesar 1,18 juta yuan (153 ribu dolar) pada hari pertama rilisnya di Shanghai pada pekan ini. Pirates of the Caribbean: At World's End merupakan serial populer Disney yang juga dibintangi Johnny Depp. Film itu kabarnya merupakan film tercepat yang mencapai pemasukan 500 juta dolar AS pada box office global. Film pertama dalam trilogi ini, Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl pada 2003, membukukan pemasukan sebesar 653 juta dolar AS di seluruh dunia, sedangkan sekuel kedua, Pirates of the Caribeean: Dead Man's Chest pada 2006, meraih sukses besar dengan pemasukan senilai 1.1 miliar dolar AS.

Pemasukan tertinggi dalam sejarah film dicapai oleh Titanic, dengan bintang utamanya Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet. Film ini berhasil meraup penghasilan lebih dari 1,8 miliar dolar AS di seluruh dunia sejak rilisnya pada 1997.

Monday, June 18, 2007

13


[by wayan diananto]
13. seolah menjadi angka yang sial dan layak untuk dihindari. Coba bayangkan, saya mencatat lebih dari tiga film yang menggunakan angka 13 dan ujung – ujungnya adalah kenaasan yang dialami tokoh dalam skenario layar putih. Apollo 13 dari Holywood dan Friday the 13 maupun 13 ghost. Sementara kubu film domestik menyumbang bangsal 13 dan gerbang 13.

Saya sebenarnya emoh untuk melihat Lantai 13, mengingat tidak ada ‘nama yang menjamin’ film ini. Tapi toh, tidak ada salahnya melihat Widi Mulia yang sempat memikat hati saya dalam film “sayekti dan hanafi”
13 Jenis Film HORROR Pemain WIDI MULIA (AB THREE), ARIYO WAHAB, VIRNIE ISMAIL, LUCKY HAKIM, TIO PAKUSADEWO Sutradara HELFI CH KARDIT Penulis HELFI CH KARDIT Poduser CHAND PARVEZ SERVIA Produksi STARVISIO Lalu bagaimana jika dia ditantang dalam film yang menjadikan para lelembut sebagai daya pikat? Tokoh yang patut dicuriagi dan menjadi pemegang kunci skenario konflik dalam film ini sudah muncul sejak menit – menit awal. Ia hadir disertai dengan score yang lumayan memberi klu. Yang menarik dan membuat kita sedikit memperoleh pencerahan adalah ‘warna’ film yang cerah dan terang. Seperti layaknya film – film drama. Lebih dari 50% mungkin didominasi warna cerah. Adegan – adegan pemicu rasa kaget ditempatkan dalam scene – scene yang asyik. Beberapa tokoh pelengkap malah memainkan peran dengan sangat memikat dan sukses mencuri perhatian penonton. Sebutlah Dawiyah ExtravaganzABG dan Ivy Batuta yang gemilang memasukan “scene komedi” di kantor Imeprium Visi Tama. Adegan dua orang tersebut bersama Luna (Widi Mulia) bisa jadi melumerkan rasa takut penonton meski sejenak, tanpa keluar dari grand desain horornya. Segar dan menggelitik, salah satunya karena saya teringat pada Nyi ‘Rizka’ Blorong saat melihat tingkah Dawiyah. Akting Widi Mulia cukup apik, memang tidak mudah mengubah air muka yang semula tenang menjadi tertekan dan ketakutan. Hal ini diperparah dengan skenario yang lumayan acakadul. Bahkan aktor sekelas Tio Pakusadewo pun tampak kurang all out dalam berdialog. Yang menurut saya agak mengecewakan malah Ariyo Wahab, kurang mampu menjadi ”payung” saat beradu chemistry dengan tokoh Luna. Sementara aktris kawak Bella Esperance memang menunjukkan kharismanya sebagai orang lama di dunia akting. Inti ceritanya adalah Luna menerima panggilan kerja di Lantai gedung Imeperium Visi Tama. Sayangnya, tidak ada lantai 13 di gedung tersebut. Sementara firasat dan kejanggalan mulai terasa, sampai klimaksnya saat Luna mengambil data karyawan di ruang sekretaris senior, ibu Fransisca, disanalah dia menyadari sebuah ancaman besar bagi nyawanya.Sayang, akhir cerita tidak diselesaikan dengan apik, banyak adegan yang rasanya lamaaaa banget dan kurang greget. Percakapan Lukman Hakim, Tyo, Virni dan Widi kayak terlihat saling menunggu dan emosinya kurang hidup, malah seperti terlihat ”bingung.” Ditambah dengan dialog yang terasa sangat 90-an. Meskipun kabarnya Lantai 13 mirip dengan film Cina, tapi ide menjadikan panggilan kerja sebagai link yang menghubungkan manusia dengan ’bangsa lelembut’ cukup apik dibanding film – film horor yang belakangan menjamur. ”Kecerahan” dalam banyak scene memang membuat film ini tampak lain. Yang agak mengganggu memang munculnya Mail OB sebagai security. Barangkali kehadirannya sekadar intermezo saja dan mengingatkan saya pada tokoh Bokir di era Suzzanna. Secara keseluruhan film ini mencerahkan khususnya bagi saya yang baru saja tersiksa pada hari kamis malam jumat kliwon.

Malam Jumat Kliwon : Dear Shankar RS, Please...

[ by wayan diananto]

Jika dapat uang gratis, maka maunya nonton film.
Nonton film apa aja gak masalah toh, itu juga bukan duit saya, maka diputuskanlah menonton film Malam Jumat Kliwon. Dulu, saya pernah menonton film Pak Shankar yang berjudul Rumah Pondok Indah, sebuah "hasta karya" yang menurut saya beride original
Indonesia, namun dibesut secara sembrono.


Sejak saat itu saya sudah bernazar tak mau lagi melihat hasta karya – hasta karya yang didanai bapak yang satu itu. Tapi saya kemudian berpikir alangkah jahatnya saya memvonis orang yang "punya niatan baik
menyemarakkan khazanah film nasional." Nah, dengan fasilitas gratisan, saya dan teman – teman segereja pun mencoba mereward film hasil jerih lelah Mas Koya dan Bung Shankar.

Dari openingnya saja, sound yang bertalu – talu dan kencangnya setengah mati seolah sudah memberi tahu kita, "eh bo' ini pilem seureum pisan loh!" Fatalnya, opening yang gegap gempita ternyata ditingkahi dialog
yang (please deh…)

Dengan setting kelab malam yang hangar binger, tiba – tiba para tokoh utama berceloteh dengan sangat maksa,suara Pinkan Mambo pun kalah mekso dibanding dialog berikut:
"hey guys, lu tau gak, ini kan malam jumat kliwon?!"
"emang kenapa?"
"malam jumat kliwon kan malamnya para hantu
bergentayangan… "
"oh, malam jumat kliwon bukannya malamnya para bencong
bergentayangan… "
"ha hahaha…ha ha…"

Deuh…dari dialog ini kita langsung diingatkan lho Jeung, kalau tagline dari film ini adalah, "malamnya para hantu bergentayangan, warning! Dianjurkan nonton rame – rame" (ajak papa mama aak teteh….-kalau boleh
saya menambahkan- ).

Maka dimulailah perjalanan keempat tokoh utama. Mereka dari kelab malam terkena razia narkoba. Karena takut ditangkap, mereka ngebut sampai tiba – tiba mereka nyasar disebuah hutan kecil, ntah apa namanya, karena film ini tidak menjelaskan apapun. Mungkin Alas Roban.
Mereka hampir menabrak seorang cewek. Lalu cewek ini seketika meminta tolong pada keempat tokoh utama untuk menolong lakinya yang terjebak di rumah sakit di dalam hutan.

Adegan ngebut pun digambarkan dengan sangat berkepunjulen layaknya balap mobil sirkuit….heh, sutralah…speechless!

malam jumat kliwon
Release Date : May 31, 2007
Director : Koya Pagayo
Writer : Ery Sofid
Cast : ben Joshua, Robertino, Debby Kristy, Gracia Indri
Studio : Indika Entertainment
Runtime : 90 mins

Lalu masuklah kelimanya kerumah sakit kuno yang sudah tidak terpakai. Di sinilah Anda akan dihadapkan pada banyak scene yang menjemukan. Berulang – ulang kali hantu mulai dari nenek tua (si dukun santet yang
dirajam penduduk sekampung), pak tua yang entah mati karena apa, suara anak kecil tertawa yang mirip persis dengan ringtone sms HP saya yang monokrom itu, hingga hantu suster – suster yang jumlahnya lebih dari
sekodi, berbaris rapih meneror muda – mudi tersebut. Cara hantu menampakkan diri pun searagam, kalau gak membelakangi tokoh utama, ya muncul mendadak tanpa harus Anda merasa kaget dan merinding.

Maka akhirnya saya bosan. Dalam kebosanan itu, saya menghitung dan mengurutkan jumlah kursi dalam bioskop Grand 4. Tahukah Anda? Bahwa ternyata kursi Grand 4 tidak ada kursi I hanya A sampai H, lalu J dan
seterusnya. Aneh bukan, kenapa huruf I gak ada? Ada apa ini? Jangan…ada, tapi yang menduduki….hiii… .

Di sela – sela rasa takut yang meneror para tokoh utama, mereka sempat saling mengaku pernah berselingkuh, hingga ada pengakuan aborsi segala
macam. Score-nya berubah jadi sentimentil, dan jadilah adegan bertangis – tangisan karena sebuah pengkhianatan oleh teman sendiri.
Sementara lampu rumah sakit angker itu, terus menyala silih berganti.
Maka timbulah pertanyaan yang membuncah dari dalam palung hati saya yang terdalam, siapakah yang membayarkan rekening listrik Rumah Sakit tersebut ke PLN? Atau jangan – jangan para hantu yang jumlahnya
lebih dari sekodi itu bersinergi bahu membahu dengan tenaga gaib menghidupkan listrik? Atau saya yang bodoh lagi kurang kerjaan mikirin rumah sakit absurd itu?

Film itu berakhir dengan keberhasilan tokoh Joana melarikan diri dari rumah sakit angker dan di tolong oleh Pak Sudjiwo Tejo. Bapak yang satu ini menasihati dengan nembang, "bumi gonjang – ganjing langit kelap –
kelap…bla bla bla….ini kan malam jumat kliwon, kamu tahu kana pa artinya malam jumat kliwon?" Lalu berakhirlah film ini dengan "tenangnya."

Ups, ternyata belum! Karena bapak Sudjiwo Tejo sempat membacakan puisi perenungan malam jumat kliwon.
"Banyak orang meremehkan malam jumat kliwon, mengaggap malam jumat kliwon hanyalah klenik, percaya malam jumat kliwon sebagai cermin tingkat pendidikan yang rendah…kebodohan… bla bla bla…"

Ery Sofid Sang penulis kenario keren ini patut 'diapresiasi. 'Begitu puisi selesai dibaca sekonyong – konyong (koder) musik
underground layaknya aliran musik Slipknot Band diputar dengan sekencang – kencangnya….Yuuuukkk kkk mariiiiiiiii… ..




Fantastic Four: Rise of The Silver Surfer


Fantastic Four: Rise of The Silver Surfer Film bertema superhero tampaknya masih terus digandrungi oleh para penonton di seluruh dunia. Setelah bulan lalu Spider-Man 3 sukses mengharubirukan box office dunia, pada Juni ini satu lagi film bertema superhero akan hadir. Film yang berjudul Fantastic Four: Rise of the Silver Surfer adalah sekuel dari film yang dirilis pada 2005 lalu, Fantastic Four. Film ini masih didukung oleh bintang-bintang di film pertamanya seperti Jessica Alba, Michael Chiklis, Chris Evans, Ioan Gruffud, Julian McMahon dan Kerry Washington. Tim Story kembali dipercaya untuk menjadi sutradara, setelah film pertamanya sukses mengumpulkan pendapatan lebih dari 330 juta dollar di seluruh dunia. Menurut rencana, Fantastic Four: Rise of the Silver Surfer akan ditayangkan secara serentak di seluruh dunia pada 15 Juni mendatang. Kisah film ini lanjutan film pertamanya. Dengan berhasil ditangkapnya Dr. Doom, kehidupan anggota Fantastic Four Reed kembali menjadi normal. Richards (Gruffud) dan Sue Storm (Alba) sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Ben Grimm (Chiklis) mencoba memperdalam hubungannya dengan Alicia Masters (Washington), sementara itu Johnny Storm tetap melanjutkan gaya hidupnya yang bak selebriti. Tanpa mereka ketahui, ancaman besar mengintai bumi. Silver Surfer (Doug Jones) diutus oleh Galactus ke bumi untuk menghancurkan dunia. Fantastic Four yang mengetahui hal ini kemudian mencoba mencegah terjadinya penghancuran bumi. Seolah belum cukup, Dr Doom berhasil melarikan diri dari tahanannya dan kini dia berambisi untuk menguasai kekuatan Silver Surfer yang merupakan kekuatan terhebat di seluruh jagat raya. Satu hal yang menarik dari film ini adalah sosok Galactus sampai saat ini masih dirahasiakan keberadaannya. Para fan boy berharap bahwa sosok Galactus dapat ditampilkan seperti yang sudah mereka kenal lewat komik, namun ada beberapa kabar yang mengatakan bahwa sosok Galactus hanya akan ditampilkan lewat visualisasi kabut atau awan. Sutradara Tim Story pun mengatakan bahwa dia tidak akan mengungkapkan sosok Galactus. “Saat ini ada banyak spekulasi seputar Galactus. Kami memang belum selesai merancangnya jadi jangan percaya dengan semua berita yang sifatnya spekulatif,” tulis Story di websitenya. Fantastic Four: Rise of the Silver Surfer konon menelan bujet hingga 100 juta dollar. Proses pengambilan gambar film ini dilakukan pada 28 Agustus 2006 lalu di Vancouver, Kanada. Dan proses pascaproduksi film ini telah dilakukan sejak awal tahun ini. Tim Story mengatakan bahwa Fantasti-Car, mobil yang digunakan oleh Fantastic Four, akan tampil di film ini. “Saya juga akan merubah design Baxter Building, markas mereka, mengingat difilm pertamanya tempat itu dihancur leburkan oleh Doom,” jelas sutradara yang sebelumnya pernah membesut Barbershop dan Taxi. Walaupun masih mengusung tema yang sama, rasanya berat bagi film ini untuk bersaing dengan Spider-Man 3. Namun Fantastic Four: Rise of the Silver Surfer tampaknya masih tetap mampu menghadirkan hiburan yang segar di tengah musim liburan ini.http://www.investorindonesia.com

Thursday, June 14, 2007

3 hari untuk selamanya Wacana baru film dewasa



[by aprilia palupi]
*catatan, reviewnya diambil sebagian.

Pemilihan karakter may (sapa sih nama lengkapnya?) & Yusuf nya sih cucok ma A.wirasti & n.saputra, tapi ketuaan ga sih?
Film dengan sponsor suatu brand rokok ternama plus label 18+ yang sangat mengundang perhatian. Fyuh, capek nontonnya… ga Indonesia banget.

Yang paling ngeselin, aku sebel, (sutradara) riri riza apa ga pake survey yah, kalo diamati pas di perjalanan sampe ke magelang (liat deh water tower di alun2 magelang itu) harusnya dia dah kearah yogya (dia lewat pecinan, nglewatin eropah tailor, dsb, jelas aku pahami itu!!) itu kan dah 50 menit lagi sebelum sampe yogya.

Kok bisa2nya mampir ke sendangsono yang sama aja muter lagi trus tiba2 dah malem pake nginep di malem lagi, uh…, ga logis. Males banget aku ngeliatnya. Kesimpulanku, sutradara ne ga baca peta L. Unit manager nya juga kurang survey ato editor e yang asal ngepasin gambar en lagu, without any simple attention to these simple things.

Tapi di samping itu smua, aku suka adegan may berdialog sama patung bunda maria, natural bgt, tapi wa mesti paham, ini Indonesia ga smua orang mau memahami lintas budaya palagi lintas agama, hehehe susyahhh....

Jujur aku lebih suka karakter Nicholas dalam janji joni (ditayangkan lagi nih di RCTI beberapa hari yang lalu, en aku tetep enjoy this!). aku pokoknya Cuma brani ngasih 2 ½ popcorn untuk film ini en yang 2 ½ kusimpen sendiri, hehehe buat nonton film malem jumat kliwon, hehehe, bisa ajah…..

Tuesday, June 12, 2007

Lembaga Sensor Film Akan Jadi Lembaga Klasifikasi

Usulan Undang-Undang Perfilman Baru
(suara pembaharuan, 12 06 07)

Dalam revisi Undang-Undang Perfilman yang kini tengah diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Lembaga Sensor Film (LSF) tidak lagi boleh menggunting adegan dalam film layar lebar meski adegan itu berbau pornografi, kekerasan dan lainnya yang tidak sesuai dengan adat dan budaya bangsa Indonesia. LSF hanya boleh melakukan klasifikasi dan menyatakan film tersebut lulus atau tidak lulus sensor.


Menurut Ketua LSF, Titie Said, dalam usulan undang-undang yang baru, LSF hanya diizinkan menyensor dan mengklasifikasikan film televisi. Sedangkan untuk film layar lebar, LSF hanya boleh mengklasifikasikan, tanpa boleh memotong adegan.

"Jika usulan itu disetujui DPR untuk dimasukkan dalam revisi undang-undang yang baru, bukan berarti wewenang LSF untuk menyensor film bioskop dihapuskan. Sebab, meski tak bisa memotong adegan, LSF tetap bisa menyensor dengan melakukan pengklasifikasian film berdasarkan usia penonton," jelasnya di Jakarta, baru-baru ini.

Selain itu, LSF juga masih berwenang untuk menyatakan sebuah film tidak lolos sensor, dan tidak boleh diputar di bioskop, apabila isinya banyak memuat adegan porno atau tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.

"Perubahan peraturan ini justru akan memudahkan tugas LSF. Kami tak perlu lagi repot-repot memotong adegan di film yang tidak layak ditonton. Film yang memuat banyak adegan seperti itu akan langsung kami nyatakan tidak lolos sensor, sehingga tidak boleh diputar," tuturnya.

Menurut Titie, rencana perubahan wewenang LSF tersebut merupakan usulan dari beberapa unsur perfilman yang ditampung Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar). Dia dan pengurus LSF lainnya tidak keberatan jika usulan tersebut benar-benar disetujui DPR dan dimasukkan dalam revisi Undang-undang Perfilman.

"Seiring dengan kemajuan zaman sudah waktunya LSF melakukan perubahan sistem penyensoran pada film layar lebar," ujarnya.

Titie mengatakan dalam revisi undang-undang tersebut diusulkan agar klasifikasi yang akan dilakukan oleh LSF, didasarkan pada usia penonton. Sebagai contoh, film yang tidak memuat adegan pornografi, kekerasan, kekejaman, dan lain-lain yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia akan diklasifikasikan sebagai film semua umur.

Artinya film tersebut boleh ditonton oleh anak-anak dan dewasa. Sedangkan film yang memuat sedikit adegan ciuman dan adegan lainnya yang tidak layak ditonton anak-anak, akan diklasifikasikan sebagai film dewasa plus satu. Film dengan klasifikasi ini hanya boleh ditayangkan malam hari.

"Selanjutnya film yang memuat sedikit banyak lagi adegan yang tidak layak ditonton anak-anak, seperti ada adegan ranjang, dan lain-lain, akan kami klasifikasikan sebagai film dewasa plus dua dan hanya boleh diputar pada jam yang lebih malam lagi. Begitu seterusnya," urai Titie.

Sebab itu para importir film dan sutradara atau pihak yang memproduksi film hendaknya patuh pada aturan yang ditetapkan dalam undang-undang. Dengan demikian, film yang telah dibuat atau telah dibeli dengan biaya yang tinggi tidak sampai dilarang beredar atau diputar oleh LSF.

"Kami tahu untuk memproduksi atau mengimpor film butuh dana yang tidak sedikit. Karena itu supaya uang yang telah dikeluarkan tidak sia-sia, sebaiknya sebelum membuat atau membeli film yang memuat adegan-adegan tertentu agar terlebih dahulu didiskusikan dengan kami," ujar Titie.

Sementara itu, Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Depbudpar, Mukhlis Paeni, mengatakan, upaya pengklasifikasian dalam penyensoran yang dilakukan LSF, merupakan suatu pendidikan pada masyarakat terhadap sesuatu yang boleh dan tidak boleh mereka lihat.

"LSF tidak akan bekerja sendiri dalam melakukan penyensoran film, begitu juga dengan Budpar. Sebab kesadaran dan pendidikan masyarakat juga akan memegang peranan penting dalam upaya penyensoran ini," katanya.

Menurutnya, masyarakat akan menilai sendiri film mana yang layak ditonton dan film mana yang tidak layak, sehingga dengan sendirinya mutu film akan tersaring tanpa harus disensor secara ketat oleh sebuah lembaga.

Mukhlis menjelaskan, menyusul disahkannya revisi Undang-Undang Perfilman yang baru, akan disusun sebuah Peraturan Pemerintah (PP). PP itu akan mengatur mengenai petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksana (juklak) implementasi dari Undang-Undang Perfilman yang baru itu.

"Mungkin dalam PP itu akan diatur juga mengenai bagaimana pelaksanaan undang-undang itu di bioskop. Misalnya kalau memang filmnya ditujukan bagi penonton berusia di atas 17 tahun, maka mereka yang usianya masih dibawah 17 tahun ya jangan harap bisa masuk bioskop itu. Karena ada aturan yang akan dibuat untuk itu nantinya," urainya.

Saat ini, jelas Mukhlis, revisi undang-undang ini telah diajukan ke DPR dan kemungkinan akan selesai pada tahun 2008. Diharapkan di tahun yang sama undang-undang yang baru itu mulai dapat diaplikasikan.

"Perlu diingat oleh semua pihak bahwa undang-undang itu hanyalah payung hukum. Pp lah nanti yang akan menentukan bagaimana pelaksanaannya. PP itu akan dibuat berdasarkan kesepakatan seluruh unsur perfilman," ungkapnya.
Mendukung

Ketika dihubungi SP melalui telepon selulernya, sutradara Riri Riza, menyatakan dukungannya jika memang LSF akan diubah menjadi lembaga pengklasifikasian. Bahkan dia mengusulkan agar nama LSF juga diubah dan disesuaikan dengan fungsi dan wewenangnya sebagai lembaga klasifikasi.

"Pola klasifikasi dan penyensoran film harus lebih mengikuti semangat reformasi. Tata cara dan proses penunjukan anggota LSF juga seharusnya ikut diganti. Sebab, percuma kalau hanya satu aspek saja yang diganti," jelasnya.

Maksudnya, lanjut Riri, pola klasifikasi dan penyensoran film tersebut harus mengacu pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat, mengajukan pemikiran, dan mengikuti kebudayaan itu adalah sesuatu yang harus dilindungi.

"Jadi, menurut saya, kalau LSF mau melakukan penyensoran seharusnya dilakukan atas nama pendidikan. Artinya kalau ada pengklasifikasian tujuannya ya untuk pendidikan dan demokratisasi kepada penonton. Jangan tujuan utamanya menghalangi orang berekspresi. Penonton yang dewasa biarkan menonton film yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai orang dewasa, begitu juga dengan anak-anak," ujarnya.

Selain mengusulkan agar nama LSF disesuaikan dengan tugas dan wewenangnya, Riri juga berharap pemerintah membentuk sebuah lembaga debat sebagai lembaga bagi para pekerja film untuk mengajukan banding ketika film mereka dinyatakan tidak lolos sensor.

"Dalam hal ini, LSF tidak bersifat monopoli dalam melarang diputarnya sebuah film. Biarkan para sineas mencari keadilan lewat lembaga lain yang juga berhak melakukan penyensoran. Hal ini telah dilakukan di negara lain seperti Singapura. Bahkan di Singapura setiap kebijakan sensor dikaji kembali setiap 10 tahun, sehingga dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman," tandasnya. [Y-6, suara pembaharuan. 12-6-07]