Sunday, August 19, 2007

Opera Jawa



Artika Sari Devi: Deg-degan dengan Opera Jawa
foto : wahyu nurdiyanto

Mantan Putri Indonesia, Artika Sari Devi, tengah deg-degan. Ini gara-gara film Opera Jawa yang rencananya akan diputar di Blitzmegaplex, Jakarta, mulai 26 Agustus mendatang. "Aku deg-degan karena penasaran ingin melihat gimana apresiasi orang kita waktu liat nanti. Soalnya, genre-nya kan lain," kata Tika (27), yang pada film garapan sutradara Garin Nugroho itu berperan sebagai tokoh Siti.

Opera Jawa yang telah diputar di beberapa negara Eropa itu belum pernah diputar secara reguler di Indonesia. Selain di Jakarta, Film Terbaik pada festival film internasional Singapura itu juga akan diputar di Bandung dan Yogyakarta.

"Khusus di Blitz, nanti akan ada happening art. Aku akan menari bersama Mas Miroto. Aku harus latihan dulu karena aku kan bukan penari," kata Tika yang dalam film itu berpasangan dengan penari Miroto, yang berperan sebagai suaminya.

Tika telah beberapa kali menonton Opera Jawa. Setiap kali nonton, ia ketemu adegan tertentu yang membuatnya tersipu-sipu. "Ada adegan di mana aku takut salah. Aku takut ngabisin can—gulungan film, apalagi kita pakai tiga kamera. Jadi, aku akting sambil mikirin harga can," kata Tika yang mendapat gelar Aktris Terbaik di Nantes, Perancis. (XAR) [sumber: kompas.co.id, Minggu 19/8/07]


Tuesday, August 14, 2007


Pengantar penulis : Tidak nyangka dari coba-coba ternyata gol juga. Nulis hal sepele sih tapi tetep seneng soalnya baru pertama ngirim dan dibaca ribuan pasang mata.
Mungkin bisa memotivasi temen-temen yang lain. Kalau ada duit lebih beli aja, Kalo gak ada ya ini aku kirim buat semua hehehe


JANGAN DISKRIMINASIKAN KAMI!
[oleh hery subyanto - di muat sebgai artikel di majalah M2 (Movie Monthly, bulan Agustus 2007]

Saya gembira sekali di tahun 2007 ini disuguhi dengan banyak film Indonesia. Dan yang lebih menggembirakan lagi, hal tersebut diikuti dengan bervariasinya tema yang ditawarkan, diluar tema hantu dan kisah cinta remaja. Tapi dibalik kegembiraan tersebut, terus terang saya merasa sangat kecewa dengan keputusan
beberapa pekerja film ( produser ) yang memutuskan menayangkan hasil karya mereka hanya di kota tertentu saja, seperti film 3 Hari untuk Selamanya, Anak – anak Borobudur dan The Photograph.

Sebelumnya, film Serambi dan Opera Jawa juga hanya diputar beberapa kota saja.
Saya mengkhawatirkan film Lari dari Blora akan mengalami nasib yang sama.
Dari hal tersebut dapat saya simpulkan beberapa hal. Salah satunya adalah pembuat film tidak mempunyai kepercayaan diri filmnya bisa diterima oleh masyarakat. Sehingga mereka hanya memutar film mereka di kota-kota yang masyarakatnya mereka anggap lebih apresiatif terhadap karya mereka.

Kalau benar demikian, mereka tidak berbeda dengan para produser lain yang dalam menghasilkan sebuah film hanya berorientasi pada keuntungan semata. Bedanya, mereka membuat film yang ( katanya ) lebih bermutu, lebih mempunyai nilai seni dan lebih edukatif. Jadi, hak masyarakat untuk mendapatkan tontonan yang ( katanya ) lebih bermutu dikalahkan oleh kepentingan bisnis.

Dikalahkan oleh kekhawatiran film mereka tidak akan diterima oleh masyarakat. Mereka seperti tentara yang kalah sebelum bertempur. Pengecut! Padahal seringkali para pekerja film tersebut menekankan pentingnya tontonan yang mencerdaskan, tontonan yang “bergizi” dan yang tidak membodohi masyarakat.

Dalam hal ini saya memberikan penghormatan yang besar kepada mereka yang menghasilkan film Kala. Tema yang ditawarkan dalam film ini berbeda dengan kebanyakan film Indonesia, bahkan lumayan berat dengan memasuki persoalan politik, tetapi produser mempunyai keberanian untuk memutarnya secara luas. Meskipun dari segi bisnis film ini tidak memberi keuntungan sesuai dengan yang diharapkan, tetapi paling tidak produser film Kala mempunyai keberanian serta menghargai hak penikmat film Indonesia untuk mendapatkan tontonan
yang bermutu.

Hal lain yang bisa disimpulkan adalah para pekerja film tersebut secara tidak langsung memberi penilaian yang lebih rendah, dengan kata lain penghinaan,
terhadap tingkat apresiasi masyarakat di kota tertentu terhadap sebuah hasil karya yang katanya “berbeda”.

Makanya mereka hanya memutar karya mereka di kota dimana masyarakatnya mereka anggap lebih bisa mengapresiasi karya mereka. Hal ini dikuatkan dengan
pernyataan produser The Photograph di salah satu media bahwa film mereka (The Photograph) tidak bisa dinikmati oleh masyarakat umum, bahwa The Photograph
adalah sebuah film dengan segmen terbatas. Kalau alasannya demikian, indikator apa yang mereka pakai hingga mereka bisa dengan mudahnya “menghukum” penonton di kota tertentu dengan tidak memberi kesempatan untuk menikmati film karya mereka? Jumlah penonton? Sungguh pemikiran yang picik lagi dangkal, serta mencerminkan kesombongan mereka kalau memang besar kecilnya penonton menjadi tolok ukur mereka.

Pemikiran tersebut bisa diindikasikan sebagai kurangnya penghargaan terhadap tingkat apresiasi masyarakat di kota tertentu. Kalau memang begini, bagaimana masyarakat Indonesia bisa menghargai film karya anak bangsa, kalau ternyata para pembuat sendiri tidak bisa memberikan penghargaan yang sama antara penonton di kota yang satu dengan penonton di kota lain.

Kalaupun mereka menganggap masyarakat di kota tertentu mempunyai tingkat apresiasi yang lebih rendah terhadap karya yang “berbeda”, mengapa mereka tidak
merintis usaha untuk meningkatkan daya apresiasi masyarakat tersebut dengan memutar film mereka di kota yang bersangkutan? Paling tidak hal tersebut akan
dihargai sebagai suatu hal yang mulia dan sejalan dengan apa yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Apakah mereka tidak belajar dari Denias, Senandung di Atas Awan dan Naga Bonar jadi 2 yang meskipun menawarkan tema yang “serius”, tapi dengan strategi
dagang yang tepat bisa diterima oleh masyarakat luas. Mungkin ini yang harus diperhatikan dan menjadi tantangan oleh para pekerja film, yakni bagaimana mereka menjual hasil karya mereka secara luas, bagaimana karya mereka tidak hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas saja atau sebatas untuk diikutkan
festival.
Jadi para pekerja film diharapkan tidak hanya bisa menghasilkan karya yang bermutu, tetapi juga bisa menjual karya mereka. Rasanya tidak asyik kalau karya kita hanya diapresiasi oleh kalangan terbatas saja. Kalaupun mereka sudah cukup puas karya mereka mendapatkan pujian dan penghargaan dari pihak tertentu tanpa mempertontonkannya secara luas, rasanya seperti masturbasi saja.

Untuk sedikit mengurangi kekecewaan saya terhadap mereka yang merilis film secara terbatas, saya mencoba untuk berpikir positif. Mereka tidak bisa merilis film mereka secara luas dikarenakan terbatasnya dana untuk menggandakan film mereka. Tetapi hal ini memancing pertanyaan lain dalam benak saya. Kalaupun memang hal tersebut yang menjadi penyebabnya, bukankah kota lain bisa mendapatkan giliran setelah film tersebut turun layar di kota yang lebih dulu memutarnya?

Satu hal yang pasti, penikmat film Indonesia berhak menikmati film bagus dan bermutu karya anak bangsa! Jangan diskriminasikan kami.

Sebagai catatan: penulis tinggal di wonogiri.

Children of men : jaga bayimu


[oleh hery subyanto]

Apa yang harus kita lakukan ketika dunia yang kita tinggali penuh dengan kerusakan akibat perang, polusi, bencana dan manusia semakin terkotak-kotak? Dunia ketika para wanita sudah tidak bisa menghasilkan keturunan. Jawabannya adalah "JAGALAH BAYIMU!"


Jawaban ini yang aku tangkap dari film Children of Men yang disutradarai Alfonso Cauron. Sutradara ini sebelumnya menghasilkan Y Tu Mama Tambien dan Harry Potter 4. Seperti kedua film tersebut, Children of Men dipenuhi dengan gambar-gambar yang suram. Inggris di tahun 2027 digambarkan dengan suasana kelabu, penuh kekacauan, jumlah imigran yang semakin merepotkan dan para wanita di dunia digambarkan mandul oleh sesuatu yang belum diketahui.

Film ini mencoba membuka mata kita akan pentingnya generasi penerus dengan cara yang menurutku cukup ekstrem. Generasi yang dimaksud disini adalah generasi tanpa dilihat dari mana dia berasal. Tapi dilihat sebagai MANUSIA, yang keberadaannya wajib dan harus diselamatkan. Secara tidak langsung film ini seakan mengingatkan pembantaian dalam bentuk apapun adalah tindakan yang tidak bisa dimaafkan.

Kisahnya sendiri fokus pada upaya Clive Owen untuk menyelamatkan seorang wanita kulit hitam yang diketahui bisa hamil. Dalam perjalanan tersebut kita disuguhi dengan beberapa adegan yang cukup menghentak. Alfonso Cauron begitu piawai menjaga ritme film yang diangkat dari novel PD James ini. Tidak heran film ini masuk nominasi Oscar 2007 untuk Best Adapted Screenplay.

Film ini sangat kuat dari segi visualnya. Adegan - adegan diambil cukup lama tanpa membosankan. Ada satu scene yang membuatku kagum, yakni adegan pertempuran di akhir film. Adegan tersebut diambil tanpa cut sama sekali. Padahal durasinya sangat lama. Kamera secara intens merekam kemanapun Clive Owen bergerak dalam space yang cukup rumit dan lebar. Aku membayangkan sebelum diambil dan direkam, mereka latihan terlebih dahulu. Kereeen!!!

Oscar saja memasukkan editing dan sinematografi film ini ke dalam nominasinya.
Berbeda dengan film yang menggambarkan masa depan, film ini termasuk yang realistis dalam penggambarannya. Eropa yang semakin dipenuhi imigran sangat mungkin terjadi, kaum Arab yang semakin terpinggirkan, gerakan perlawanan yang muncul dimana-mana menurutku sangat mungkin terjadi 20 tahun mendatang.

Film ini semakin asyik dengan penampilan total dari Clive Owen. Karakternya asyik banget. Tidak hitam putih. Sebuah film yang wajib tonton. 3,5/5
Note: Apapun yang mereka lakukan, apapun yang mereka katakan .... JAGALAH BAYIMU!

Hantu Bourne


[oleh hery subyanto]

Kalau ditanya film ( Hollywood ) apa yang paling asyik dilihat di tahun 2007 ini? Jawabannya dengan pasti adalah The Bourne Ultimatum!
Film ini menawarkan aksi secara mempesona dan simultan. Ceritanya sentiri tidak beranjak dari dua film sebelumnya, kita diajak menyaksikan aksi kejar-kejaran antara CIA dengan Bourne. Sisi menarik dari trilogi Bourne menurutku memang bagaimana usaha dia dalam meloloskan diri dari pihak-pihak yang berusaha mengejarnya. Film adu pintar semacam ini memang selalu menarik dilihat seperti dalam Face/Off, Inside Man, Seven ataupun The Negotiator.


Bourne ini seolah-olah hantu yang membuat CIA tidak tenang. Ironisnya hantu tersebut diciptakan oleh mereka sendiri. Dari yang aku saksikan aku membayangkan apakah hantu seperti Osama bin Laden ataupun tokoh-tokoh lain yang menjadi target pembunuhan pemerintah AS juga merupakan kreasi dari AS? Kalau ditarik ke belakang cerita jenis ini sebenarnya sudah ada sejak tokoh Frankenstein diciptakan.

Film ini juga menggambarkan bahwa senjata yang paling ampuh untuk menghancurkan musuh bukanlah pistol, rudal ataupun bom, tapi ide-ide, dogma ataupun doktrin yang merasuki pikiran. Sebuah kejahatan yang tidak bisa dibuktikan. Aku jadi teringat dengan Tirai karya Agatha Christie, dimana Hercule Poirot bunuh diri karena tidak bisa menangkap seorang penjahat yang menggunakan "lidahnya" sebagai alat membunuh, karena tidak bisa dibuktikan.

Kembali ke Bourne. Film ini dipenuhi adegan-adegan yang menguras nafas dan gelengan kepala. Terus terang melihat film ini aku banyak menahan nafas melihat Bourne yang hampir tertangkap berkali-kali meskipun dalam pikiran sudah tahu film akan berkahir dengan manis, semanis senyum Julia Stiles di akhir film.Takjub juga melihat betapa pintarnya Bourne mengakali lawan-lawannya. Terutama adegan ketika dia memasuki kantor ...... ( sensor ) dan kagum juga ternyata adegan di akhir seri kedua ditampilkan di tengah-tengah film.

Kisah Bourne tidak afdol tanpa adegan car crash yang dahsyat. Car Crash di seri ketiga ini benar-benar dahsyat. Kalau ada sutradara yang bisa menghasilkan adegan Car Crash yang lebih dahsyat, berarti sutradara tersebut memang benar - benar HEBAAAT.
Penggunaan hand held kamera semakin memperkuat cerita. Kita sekan-akan diajak "mengintip" segala polah tingkah tokoh yang ada di film ini. Menurutku jenis pengambilan seperti ini sangat sesuai dipakai dalam film-film bergenre spionase, karena erat kaitannya dengan pengamatan.

Film ini juga mengajak kita melintasi berbagi negara. Tangier itu negara apa bukan ya?Hehehe
Geografiku payah banget.
Film ini sangat menghibur, jadi segera tonton kalau ada waktu luang. 3,5/5

Sunday, August 12, 2007

Page 3


Dunia selebriti selalu asyik untuk diikuti. Sebuah dunia yang terlihat gemerlap. Tetapi apakah memang begitu kondisi sesungguhnya? Kalau kita melihat Page 3, maka kita akan dibuat percaya bahwa dunia selebriti memang dunia yang akrab dengan hal-hal yang ”menyilaukan”.
Page 3 adalah sebuah film buatan Bollywood, yang di tahun 2006 kemarin, selain masuk jajaran film terlaris juga mendapatkan banyak pujian. Mungkin kita sedikit meremehkan film India. Tapi Page 3 ini menurutku film India yang mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan film India yang lain, yang menawarkan drama yang berlebihan, serta diiringi musik dan goyang pinggul. Musik dan goyang tetap dihadirkan dalam film ini. Tapi sangat kontekstual. Musik dan tarinya sebenarnya sangat biasa, tapi lirik lagu-lagunya begitu menohok. Page 3 ini ditulis berdasar kisah nyata seorang wartawan. Hal inilah yang menyebabkan apa yang disajikan di layar menjadi tidak berlebihan seperti halnya film India yang lain. Film ini secara frontal dan jujur menggambarkan dunia selebriti yang penuh dengan kepalsuan dan kesombongan, dan gaya hidup drug, sex and party. Hampir di sepanjang film, segala ironi yang ada di dunia selebriti disajikan secara gamblang., sekaligus nyinyir. Yang dimaksud dengan Page 3 disini adalah kolom dimana didalamnya berisi berita – berita orang – orang kondang. Dengan kata lain Infotainment. Awal film berjalan agak lambat, tetapi setelah sepertiga durasi film ini menjadi lebih enak dinikmati. Film ini semakin istimewa karena para bintang pendukungnya, namanya masih sangat asing ditelinga. Ketidakterkenalan mereka justru semakin membuat film ini lebih membumi dan realistis. Dalam Page 3 juga digambarkan kehidupan seorang wartawan pemula dengan segala konfliknya, terutama pergulatan dalam dirinya. Tokoh utama digambarkan seorang yang masih muda, fresh graduate dengan idealisme tinggi. Pergulatan batin si tokoh utama makin tajam ketika pada suatu saat dia dihadapkan kepada pilihan yang mengusik nuraninya. Aku tidak tahu apakah kebanyakan temen-temen yang bekerja di media juga mengalami hal tersebut. Tapi menurutku, pergulatan batin seperti yang dialami oleh si tokoh utama dalam Page 3 juga dialami oleh kebanyakan dari kita. Buat temen-temen yang kerja di media, film ini bisa dicoba. Lumayan kok. 3/5 NB : setelah melihat Page 3, aku liat seri Entourage musim pertama. Serial ini juga menggambarkan dunia hiburan. Berbeda dari Page 3 yang melihatnya dari mata wartawan. Di Entourage, kita diajak menelusuri dunia hiburan lewat pelaku dunia hiburan. Film ini penuh dengan adegan – adegan dewasa ( seks, boob, butt, and breast). Kehidupan selebriti dalam Entourage digambarkan setali tiga kutang dengan yang digambarkan dalam Page 3, tapi dengan gambar-gambar yang lebih vulgar. Maklum Hollywood. Dialog-dialog dalam Entourage, seperti komedi produk AS lainnya, lucu dan cerdas. Asyiknya serial ini adalah hadirnya bintang Hollywood betulan sebagai bintang tamu seperti Mark Wahlberg (produsernya soalnya), Jessica Alba, Scarlett Johannson, Luke Wilson, dll.

Thursday, August 9, 2007

Bali bombings recreated on screen



Bali bombings recreated on screen
By Lucy Williamson
BBC News, Jakarta

For the first time since the bomb attacks in Bali four years ago, an Indonesian film company has tackled the subject on screen.
Scene from Long Road to Heaven
The horror of the 2002 bombings in Bali are relived on screen
Long Road to Heaven, which opens in Indonesia on Thursday, tells the story that has defined Bali's recent past - fictionalised through the eyes of those who planned the attacks, and those who survived them.

Two hundred and two people died in the attacks, most of them foreign tourists.
This year will mark the fifth anniversary of the bombings - time, according to producer Nia Dinata, to revisit the lessons of the attacks.
Sitting in her office, surrounded by posters of the new movie, she said the film was less about terrorism than about the underlying issues.
"I hope to bring back the conversation in Indonesia about tolerance and humanism," she said.
"And part of that is having an understanding about the Bali issue."
'Human side'

The film weaves together the stories of three characters who live through the planning, execution and aftermath of the attacks.

Director Enison Sinaro
We don't want people saying we're giving Islam a bad name, or degrading Islam - it's nothing of the sort

But it also spends a lot of time exploring the relationships between radical Muslims within Jemaah Islamiah - the shadowy Islamist group behind the plot itself.

For director Enison Sinaro, fleshing out the now-notorious figures was a key part of what the film wanted to do.
"These characters are important to the movie," he said, "and to the whole process. So we really wanted to get inside their heads and show their human side.
"That's why we showed the bombers not being able to drive, or playing with pornographic material on the internet."
Mr Sinaro is not expecting everyone to like the film, but he said he hoped that people would not over-react to it.
"We don't want people saying we're giving Islam a bad name, or degrading Islam - it's nothing of the sort. And we don't want to have to give in to that kind of pressure."

Mixed reaction
Some people got a sneak preview of the film in Jakarta this month.
And there was a fairly mixed reaction on the steps of the cinema after the showing.
Scene from Long Road to Heaven
The film raises questions about the meaning of Islam
Some felt Long Road to Heaven did a good job of portraying the widely different attitudes of Muslims in Indonesia.

Others thought the film's complicated structure would leave audiences behind.
A third group felt that the film was sending a message that Bali had indeed become too liberal.
Three of the bombers portrayed in the film are currently in prison, and awaiting execution.
Indonesia has learned to fear Islamic extremism within its borders. Its counter-terrorism forces have made hundreds of arrests since the attacks.
But the questions raised by Long Road to Heaven are still unanswered: How can Indonesia resolve the debate over what Islam means here?

Monday, August 6, 2007

BENAR-BENAR BIASA dengan kata lain BUKAN BARANG BARU (baca : BBB )


by hary subiyanto

Sejak dulu, kita sudah diajarkan untuk tidak berpengharapan terlalu tinggi karena pada akhirnya hanya akan menemui kekecewaan. Inilah yang terjadi setelah melihat Bukan Bintang Biasa The Movie.

Pada saat Melly berencana meluncurkan filmnya, dalam benak (penulis) muncul film remaja yang lain daripada yang yang lain. Yang tidak hanya menawarkan kisah yang dangkal dengan menyuguhi kisah cinta remaja dan segala hura-huranya.




Cerita yang tidak hanya menawarkan mimpi tapi juga menyuguhkan realita yang ada. Ternyata apa yang ditampilkan di layar adalah sesuatu yang BENAR-BENAR BIASA dengan kata lain BUKAN BARANG BARU (baca : BBB ).

Bukan Bintang Biasa hanyalah kisah seputar 5 orang remaja mahasiswa yang diributkan dengan masalah cinta(?). Padahal kalau film ini lebih focus pada pengembangan karakter (building character) kelima tokohnya, film ini akan lebih “berisi”. Saya tidak
menabukan kisah percintaan remaja.

Kebetulan sebelum melihat Bukan Bintang Biasa, saya melihat film-film dengan tema sejenis semacam Step Up, Honey, Take the Lead, High School Musical dan The Holiday. Untuk judul
yang terakhir adalah film produk Bollywood. Film-film yang saya sebutkan tadi sama-sama menggunakan seni sebagai sarana aktualisasi para tokohnya yang masih remaja, bahkan untuk High School Musical para tokohnya digambarkan masih SMP. Meskipun didalamnya tetap
dibumbui kisah percintaan, tapi bukanlah suguhan utama.

Berbeda dengan BBB yang tokoh-tokohnya out of reach, dalam film-film yang saya tonton tersebut, tokoh-tokohnya begitu membumi. Mereka digambarkan remaja biasa-biasa saja, kadang digambarkan sangat bermasalah, yang pada perkembangannya menjadi pribadi yang luar biasa dengan berhasil mengalahkan musuh terbesar mereka yakni diri mereka sendiri. From zero to hero. Hal ini tidak nampak pada BBB, sehingga sulit bagi penonton untuk larut dalam cerita yang disuguhkan. Tokoh-tokoh yang digambarkan dalam BBB, meskipun pada awal film diperkenalkan dengan segala kekurangan mereka, tapi bagi penonton, karakter mereka tetap “wah”. Hal ini ditunjang dengan segala gaya yang melekat pada mereka, seperti baju , mobil ataupun gadget yang mereka bawa.

Drama yang ditawarkan tidak begitu kuat. Mungkin cerita yang ditawarkan akan mendapat sedikit pemakluman apabila para tokohnya digambarkan masih SMP. Agak tersinggung juga, para tokohnya yang mahasiswa digambarkan seperti itu. Tidak ada semacam passion dalam para tokohnya ketika beraktualisasi dengan seni yang mereka pilih. Mungkin ini terpengaruh
dengan padatnya jadwal para pemeran film ini, sehingga pendalaman karakter mereka sangat kurang. Kurang disiplin dalam latihan.Atau mungkin salah kasting. Ending film semakin memperparah film. Kelima tokohnya menyanyi bersama di atas panggung dengan koreografi
yang amat sangat tanggung! Idealnya mereka bersinergi sesuai seni yang mereka dalami. Bukan malah bernyanyi bersama. Pentas seni harusnya dimanfaatkan oleh para tokohnya untuk unjuk gigi kemampuan yang mereka miliki. Puncak kehebohan harusnya terjadi pada akhir film.

Poin pisitif dari film ini adalah warna-warna cerah yang lumayan menyejukkan mata, Bella yang
dieksploitasi dari berbagai sudut ( nih anak bener-bener amat sangat segar sekali ) dan musik yang segar. Untuk musik, sayang sekali materi yang sebenarnya sudah asyik tidak dimanfaatkan secara maksimal. Ada beberapa adegan yang kurang pas dalam memasukkan musiknya. Motongnya tidak pas. Dari penampilan bintang pendukungnya, penampilan
Chintami Atmanegara lumayan segar dengan logat Sunda-nya yang genit. Paundra juga bisa tampil sebagai sosok yang invisible.

Kalau penonton film ini mencapai 1 juta, Melly berencana membuat sekuelnya. Saya berharap kalau hal tersebut bisa terwujud, Melly bisa membuatnya dengan lebih “bijaksana” dengan lebih berpihak pada perkembangan karakter yang lebih membumi. Tidak hanya menjual mimpi. Dan semoga saja harapan saya tidak hancur nantinya.

Bagi yang mempunyai duit dan waktu berlebih, boleh-boleh saja liat film ini. Terutama bagi yang pengin diet, karena film ini bisa menyiksa lemak kalian hingga mampu mencairkannya. Yang lagi puyeng, disarankan untuk tidak melihat film ini. 1,5/5

Saturday, August 4, 2007

Selamanya : Untung (masih) Ada Sekar!



by wayan diananto

Anda penggila musik Indonesia? Jika ya, tentu Anda mengenal nama Sekar Ayu Asmara. Namanya muncul dipengujung dekade 80-an, kala berkolaborasi bersama Fariz RM dan Dorie Kalmas dalam ‘Susi Bhelel’. Lagu ini berkisah tentang jablay SMP yang belakangan dibooking oleh ayah kandungnya sendiri. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas. Beberapa waktu yang lalu saya menonton ‘Selamanya’. Film yang memasang Dimas Seto dan Julie Esttele ini skenarionya digarap oleh Sekar. Film bercerita tentang sepasang kekasih Bara (Dimas) dan Aristha (Julie) yang berpacaran sembari ngedrugs sejak SMU.

julie estelle

Setelah lulus dan putus, Bara menjalani proses rehab hingga menjadi seorang konseling. Sementara Ar semakin tak terkendali. Hidupnya semakin kacau. Tanpa disengaja, Bara yang sudah bertunangan bertemu kembali dengan Ar di kantor polisi. Cinta lama sekian tahun silam bersemi kembali.

Dari segi akting, Julie tampak lebih total. Diet menguruskan badan demi menjiwai peran sebagai pengguna drugs berujung pada peningkatan mutu akting. Dimas mampu mengimbanginya. Kemistri mereka sangat kuat terutama saat Bara berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan Ar dari ketergantungan narkoba. Menyentuh sekaligus menguji kemampuan akting kedua muda ini.
Dari segi karakter, yang mencuri perhatian adalah karakter yang dimainkan Masayu. Sebagai penari erotik yang setia kawan, ia mampu menghidupi atau setidaknya menyemarakkan film yang didominasi gambar suram ini. Sayang, Masayu kurang total lantaran menggunakan stuntwoman. Sempat juga saya dan mbak Heny kangen – kangenan dengan Ita mustafa. Aktris layar lebar yang telah lama menghilang namun sempat saya lihat kiprahnya bersama Adi Kurdi dalam ‘Bukan Istri Pilihannya’.

Selamanya adalah sebuah cerita cinta remaja. Namun memiliki setting yang serba indah dan penuh dengan penjelasan. Anda tidak perlu repot untuk mengikuti alur ceritanya. Tak seperti cerita cinta layar lebar yang belakangan mengabaikan logika, setting dan penokohan, Selamanya memang hadir dengan alasan yang kuat sekaligus pesan yang jelas. Saya tak punya referensi film – film Sekar sebelumnya.

Beberapa filmnya terdahulu seperti Biola tak Berdawai, Belahan Jiwa, dan Pesan dari Surga luput dari
perhatian saya. Yang saya tahu, Sekar adalah penulis lirik ulung. Tak percaya, coba dengar lagu – lagu Rita Effendy seperti ‘Telah Terbiasa’, ‘Saling Setia’, ‘Januari di Kota Dilli’ dan ‘Perempuan’. Memang sukses Rita tak luput dari peran Sekar sebagai produser di Aquarius. Romantisme Sekar dalam lirik lagu pun sudah bisa saya bayangkan sebelum menonton Selamanya. Benar saja, setelah film berjalan 50% Sekar mulai menebarkan sengat roman. Dialog – dialog antara Ar dan Bara mulai
tak biasa. Hingga ending yang amat dramatis.

Yang menjengkelkan malah performa Ada Band dalam membuat soundtrack demi membangkitkan ruh film. Lagu akal sehat hanya muncul sepintas dalam adegan mendengar radio. Belahan jiwa, lagu perpisahan ini justru dipakai untuk mengiringi berseminya kembali cinta Ar dan Bara. Cocokkah? Sementara satu lagu lainnya dipasang sebagai pengiring credit title. Lalu apa fungsi 9 lagu lain dialbum cinema strory? Lagu – lagu lainnya hampir useless, maklum saja band ini memang mengaku kesulitan dan baru kali pertama membuat soundtrack.

Ah, seandainya saja lagu – lagu dan lirik Selamanya dikemas sendiri oleh Sekar!!! Padahal Sekar punya relasi yang amat hangat dengan sejumlah petinggi musik dinegeri ini. Addie MS, Seno Harjo, Rita Effendy, Yana Julio, Andi Rianto dan lain-lain. Mereka begitu mumpuni, bisa saya bayangkan jika benih romantisme disemai dengan orkestrasi klasik Addie MS, ditingkahi vibrasi Yana dan Rita, dan lirik – lirik menggugah rasa ala Sekar tentu film ini makin total! Atau Ada Band memang ditempatkan di garda terdepan sebagai magnet penarik perhatian khalayak luas (remaja)? Atau subjektivitas saya yang berlebihan?

Ditengah krisis ide cerita cinta yang nampak makin seragam dalam industri film kita, ide – ide cerita yang diusung Sekar tergolong apik. Kalau Anda berpikir ide – ide brilian Mira Lesmana, Nia Dinata, Riri Riza bahkan Rudi Sudjarwo tergolong berat, maka cerita ala Sekar bisa jadi alternatif yang lebih ringan, menghibur namun tidak kosong belaka. Setelah menonton Selamanya, saya berkata dalam hati, “untung, Sekar masih produktif!"