Tuesday, June 12, 2007

Lembaga Sensor Film Akan Jadi Lembaga Klasifikasi

Usulan Undang-Undang Perfilman Baru
(suara pembaharuan, 12 06 07)

Dalam revisi Undang-Undang Perfilman yang kini tengah diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Lembaga Sensor Film (LSF) tidak lagi boleh menggunting adegan dalam film layar lebar meski adegan itu berbau pornografi, kekerasan dan lainnya yang tidak sesuai dengan adat dan budaya bangsa Indonesia. LSF hanya boleh melakukan klasifikasi dan menyatakan film tersebut lulus atau tidak lulus sensor.


Menurut Ketua LSF, Titie Said, dalam usulan undang-undang yang baru, LSF hanya diizinkan menyensor dan mengklasifikasikan film televisi. Sedangkan untuk film layar lebar, LSF hanya boleh mengklasifikasikan, tanpa boleh memotong adegan.

"Jika usulan itu disetujui DPR untuk dimasukkan dalam revisi undang-undang yang baru, bukan berarti wewenang LSF untuk menyensor film bioskop dihapuskan. Sebab, meski tak bisa memotong adegan, LSF tetap bisa menyensor dengan melakukan pengklasifikasian film berdasarkan usia penonton," jelasnya di Jakarta, baru-baru ini.

Selain itu, LSF juga masih berwenang untuk menyatakan sebuah film tidak lolos sensor, dan tidak boleh diputar di bioskop, apabila isinya banyak memuat adegan porno atau tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.

"Perubahan peraturan ini justru akan memudahkan tugas LSF. Kami tak perlu lagi repot-repot memotong adegan di film yang tidak layak ditonton. Film yang memuat banyak adegan seperti itu akan langsung kami nyatakan tidak lolos sensor, sehingga tidak boleh diputar," tuturnya.

Menurut Titie, rencana perubahan wewenang LSF tersebut merupakan usulan dari beberapa unsur perfilman yang ditampung Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar). Dia dan pengurus LSF lainnya tidak keberatan jika usulan tersebut benar-benar disetujui DPR dan dimasukkan dalam revisi Undang-undang Perfilman.

"Seiring dengan kemajuan zaman sudah waktunya LSF melakukan perubahan sistem penyensoran pada film layar lebar," ujarnya.

Titie mengatakan dalam revisi undang-undang tersebut diusulkan agar klasifikasi yang akan dilakukan oleh LSF, didasarkan pada usia penonton. Sebagai contoh, film yang tidak memuat adegan pornografi, kekerasan, kekejaman, dan lain-lain yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia akan diklasifikasikan sebagai film semua umur.

Artinya film tersebut boleh ditonton oleh anak-anak dan dewasa. Sedangkan film yang memuat sedikit adegan ciuman dan adegan lainnya yang tidak layak ditonton anak-anak, akan diklasifikasikan sebagai film dewasa plus satu. Film dengan klasifikasi ini hanya boleh ditayangkan malam hari.

"Selanjutnya film yang memuat sedikit banyak lagi adegan yang tidak layak ditonton anak-anak, seperti ada adegan ranjang, dan lain-lain, akan kami klasifikasikan sebagai film dewasa plus dua dan hanya boleh diputar pada jam yang lebih malam lagi. Begitu seterusnya," urai Titie.

Sebab itu para importir film dan sutradara atau pihak yang memproduksi film hendaknya patuh pada aturan yang ditetapkan dalam undang-undang. Dengan demikian, film yang telah dibuat atau telah dibeli dengan biaya yang tinggi tidak sampai dilarang beredar atau diputar oleh LSF.

"Kami tahu untuk memproduksi atau mengimpor film butuh dana yang tidak sedikit. Karena itu supaya uang yang telah dikeluarkan tidak sia-sia, sebaiknya sebelum membuat atau membeli film yang memuat adegan-adegan tertentu agar terlebih dahulu didiskusikan dengan kami," ujar Titie.

Sementara itu, Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Depbudpar, Mukhlis Paeni, mengatakan, upaya pengklasifikasian dalam penyensoran yang dilakukan LSF, merupakan suatu pendidikan pada masyarakat terhadap sesuatu yang boleh dan tidak boleh mereka lihat.

"LSF tidak akan bekerja sendiri dalam melakukan penyensoran film, begitu juga dengan Budpar. Sebab kesadaran dan pendidikan masyarakat juga akan memegang peranan penting dalam upaya penyensoran ini," katanya.

Menurutnya, masyarakat akan menilai sendiri film mana yang layak ditonton dan film mana yang tidak layak, sehingga dengan sendirinya mutu film akan tersaring tanpa harus disensor secara ketat oleh sebuah lembaga.

Mukhlis menjelaskan, menyusul disahkannya revisi Undang-Undang Perfilman yang baru, akan disusun sebuah Peraturan Pemerintah (PP). PP itu akan mengatur mengenai petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksana (juklak) implementasi dari Undang-Undang Perfilman yang baru itu.

"Mungkin dalam PP itu akan diatur juga mengenai bagaimana pelaksanaan undang-undang itu di bioskop. Misalnya kalau memang filmnya ditujukan bagi penonton berusia di atas 17 tahun, maka mereka yang usianya masih dibawah 17 tahun ya jangan harap bisa masuk bioskop itu. Karena ada aturan yang akan dibuat untuk itu nantinya," urainya.

Saat ini, jelas Mukhlis, revisi undang-undang ini telah diajukan ke DPR dan kemungkinan akan selesai pada tahun 2008. Diharapkan di tahun yang sama undang-undang yang baru itu mulai dapat diaplikasikan.

"Perlu diingat oleh semua pihak bahwa undang-undang itu hanyalah payung hukum. Pp lah nanti yang akan menentukan bagaimana pelaksanaannya. PP itu akan dibuat berdasarkan kesepakatan seluruh unsur perfilman," ungkapnya.
Mendukung

Ketika dihubungi SP melalui telepon selulernya, sutradara Riri Riza, menyatakan dukungannya jika memang LSF akan diubah menjadi lembaga pengklasifikasian. Bahkan dia mengusulkan agar nama LSF juga diubah dan disesuaikan dengan fungsi dan wewenangnya sebagai lembaga klasifikasi.

"Pola klasifikasi dan penyensoran film harus lebih mengikuti semangat reformasi. Tata cara dan proses penunjukan anggota LSF juga seharusnya ikut diganti. Sebab, percuma kalau hanya satu aspek saja yang diganti," jelasnya.

Maksudnya, lanjut Riri, pola klasifikasi dan penyensoran film tersebut harus mengacu pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat, mengajukan pemikiran, dan mengikuti kebudayaan itu adalah sesuatu yang harus dilindungi.

"Jadi, menurut saya, kalau LSF mau melakukan penyensoran seharusnya dilakukan atas nama pendidikan. Artinya kalau ada pengklasifikasian tujuannya ya untuk pendidikan dan demokratisasi kepada penonton. Jangan tujuan utamanya menghalangi orang berekspresi. Penonton yang dewasa biarkan menonton film yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai orang dewasa, begitu juga dengan anak-anak," ujarnya.

Selain mengusulkan agar nama LSF disesuaikan dengan tugas dan wewenangnya, Riri juga berharap pemerintah membentuk sebuah lembaga debat sebagai lembaga bagi para pekerja film untuk mengajukan banding ketika film mereka dinyatakan tidak lolos sensor.

"Dalam hal ini, LSF tidak bersifat monopoli dalam melarang diputarnya sebuah film. Biarkan para sineas mencari keadilan lewat lembaga lain yang juga berhak melakukan penyensoran. Hal ini telah dilakukan di negara lain seperti Singapura. Bahkan di Singapura setiap kebijakan sensor dikaji kembali setiap 10 tahun, sehingga dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman," tandasnya. [Y-6, suara pembaharuan. 12-6-07]

No comments: