Tuesday, October 30, 2007

Film Traffic Dari MTV-USAID

Film Dokumenter Mengenai Perdagangan Manusia

Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia Cameron Hume memperkenalkan program Traffic : An MTV Exit Spesial, sebuah program dokumenter produksi MTV mengenai perdangangan manusia di Asia Tenggara. Selasa (30/10).
Program film ini didanai oleh Badan Pembangunan Internasional Pemerintah Amerika Serikat (USAID), dan sebelumnya telah diputar di China, Malaysia dan India, dimana film ini mendapat sambutan yang besar.
Film ini menceritakan kisah tiga orang,-warga Indonesia, Filiphina dan Burma,- yang dijerumuskan dalam praktik perbudakan, protistusi dan kerja paksa. Film tersebut menjelaskan bagaimana kita dapat mewaspadai perdangan manusia dan apa yang dapat kita lakukan untuk membantu mengakhiri eksploitasi dan perdangangan manusia.
"Tujuan dari film ini adalah untuk menyelamatkan nyawa. Melalui MTV, film ini akan menjangkau jutaan kaum muda, kelompok yang paling beresiko menjadi korban perdagangan manusia," terang Dubes Hume dalam acara pemutaran perdana film di Time Break Cafe.
Traffic disajikan dalam bahasa Indonesia oleh artis Kris Dayanti. Film dokumenter ini, merupakan proyek kerjasama antara USAID dengan MTV Foundation.
Program ini diharapkan menjangkau 380 juta rumah tangga di Asia.
dalam rangka menggugah dan mencegah praktik perdagangan manusia.
Program film dokumenter ini juga menjadi bagian dari kampanye yang lebih besar yang mendakup film anime dan pengumuman layanan publik serta acara-acara MTV untuk membuat masyarakat siaga terhadap bahaya perdagangan manusia. Dan sekaligus meningkatkan kegiatan anti perdagangan manusia oleh LSM.
Perdagangan manusia adalah tindakan kejahatan global yang menempati urutan kedua setelah kegiatan perdagangan obat terlarang yang menghasilkan sekitar 7-10 miliar dolar AS setiap tahunnya.

Monday, October 15, 2007

Zodiac, Kisah Panjang Dalam Durasi Panjang


[by hery subyanto]

David Fincher merupakan salah satu sutradara favoritku, karena selalu menghasilkan film yang memuaskan. Dari 5 film yang pernah dibuatnya, saya pernah melihat 4 film yaitu Seven, The Game, Fight Club dan Panic Room. dari keempat film tersebut, terlihat sekali kemampuan David Fincher dalam mengolah cerita. Dia tahu banget bagaimana bercerita, bagaimana menyampaikan cerita dengan menarik. Sebuah kemampuan yang tidak dimiliki oleh setiap sutradara. Kini dia hadir dengan karya ke enamnya yakni ZODIAC.

Film ini dibuat berdasarkan kejadian nyata yang mengguncang Amerika sekitar tahun 60-an hingga 70-an. Sebuah serial killer yang tidak pernah terungkap yang dilakukan oleh seseorang yang menamakan dirinya dengan Zodiac. Meskipun bercerita tentang pembunuh berantai, jangan berharap ketegangan seperti yang ditampilkan dalam Seven ataupun Panic Room. Film ini lebih berfokus kepada kehidupan orang-orang yang tertarik mendalami kasus Zodiac tersebut. Bagaimana kasus ini “menghantui” hidup ketiga tokoh utama dalam film ini ( Robert Downey Jr, Jake Gyllenhal dan Mark Rufallo). Meskipun demikian keberadaan Zodiac lantas dikesampingkan. Zodiac disini masih ditampilkan secara pas sesuai kebutuhan. Kita masih diajak untuk melihat kesadisan aksi Zodiac.
Detail kasus ini digambarkan sedemikian rupa. Naskah Cerita diambil dari buku tulisan Richard Graysmith yang di dalam film diperankan oleh Jake Gyllenhall. Tokoh-tokoh lain dalam film juga ada dalam kejadian nyata.
Kisah dalam film ini merupakan kisah yang panjang. Selain durasinya yang panjang ( lebih dari 2,5 jam!), film juga menggambarkan rentang kasus secara kronologis mulai dari akhir 60-an sampai dengan awal 90-an. Di akhir film, ditulis perkembangan kasus hingga tahun 2004. Pada salah satu adegan, perubahan waktu digambarkan dengan sangat menarik, yakni dengan menggambarkan pembangunan sebuah gedung.
Karena panjangnya durasi dan perjalanan kasus, butuh tenaga ekstra melihat film ini. Durasi yang panjang di satu sisi bisa memberi hal positif dalam menggambarkan perkembangan kasus secara detail, tetapi di sisi lain bisa membuat penonton bosan. Apalagi bila didalamnya minim “letupan” cerita. Tetapi untungnya, seperti yang telah diutarakan diatas, film ini ditangani oleh David Fincher yang mempunyai kemampuan menghantarkan cerita yang baik, membuat film ini menjadi lebih enak dinikmati, meskipun pada beberapa bagian sempat membuatku tertidur.
Ketiga tokoh utamanya digambarkan dengan imbang dan cukup. Pada saat tertentu tokoh yang satu lebih banyak perperan, tetapi pada bagian yang lain, giliran tokoh yang lain untuk tampil.
Kelebihan dari film ini adalah keterampilan sutradara dalam mengolah gambar, sehingga sedikit meminimalisir cerita yang sedikit melelahkan. Melihat Zodiac, kita diajak bertamasya mata melihat Amerika di era akhir 60-an dan awal 70-an. Sutradara memberikan gambaran yang cukup memanjakan mata. Hal ini diperkuat dengan sudut pengambilan gambar yang menarik. Tidak akan mengherankan kalau nantinya film ini memperoleh nominasi Oscar untuk kategori Sinematografi dan Art Direction ( untuk usaha menanam 24 pohon oak seperti dalam kejadian asli? ).
Dari yang aku baca, film ini merupakan film pertama yang secara utuh menggunakan kamera digital Thomson Viper. Mungkin ini yang menyebabkan gambar yang ditampilkan terlihat lain, baik dari segi kejernihan gampar ataupun dalam penangkapan warna yang menurutku lebih soft. Dalam hal ini aku kurang faham.
Satu hal yang aku tangkap dari film ini adalah, ketidakberhasilan penegak hukum dalam mengurai kasus ini disebabkan kurangnya koordinasi antara penegak hukum di wilayah yang satu dengan penegak hukum di wilayah yang lain.
Aku tidak bisa bilang film ini bagus, karena terus terang agak sedikit berat mengikuti alur cerita, tetapi film ini menarik untuk disaksikan. Tapi satu yang pasti, film ini tidak jelek. 3/5

The Lookout


[by hery subyanto] Jarang sekali ada penulis scenario yang alih jabatan menjadi sutradara. Kalaupun ada yang mencoba melakukannya, seringkali hasilnya tidak sebagus hasil tulisan mereka. Lewat The Lookout, Scott Frank dinilai berhasil menghasilkan karya yang bagus, sebagaimana hasil tulisannya seperti Out of Sight, Get Shorty atupun Minority Report.

Film ini memang kurang bergema, di Amerika sekalipun, tetapi banyak kritikus film disana yang memasukkan film ini sebagai salah satu film terbaik di tahun 2007 ini. Film yang didanai dengan budget terbatas ini memang lebih mengandalkan kekuatan cerita dan acting para pemainnya, dibandingkandengan menyajikan adegan – adegan yang heboh. Kalau pernah melihat Out of Sight pasti sudah bisa membayangkan irama dari film ini. Temanya sangat sederhana, yakni bagaimana hidup seseorang setelah mengalami sebuah musibah. Tema yang sebenarnya cukup basi ini ternyata di tangan Scott Frank menjadi enak dinikmati berkat kemampuannya yang baik dalam bercerita. Berbeda dengan Jodie Foster dalam yang membabi buta dalam The Brave One setelah mengalami sebuah tragedy, tokoh utama dalam film ini ( Joseph Gordon Levitt ), yang berhasil selamat dari sebuah musibah harus hidup dengan rasa bersalah karena musibah yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari perbuatannya. Konflik dengan dirinya sendiri ini semakin diperparah dengan otaknya yang mengalami kerusakan, sehingga dia menggunakan buku catatan untuk membantu ingatannya. Tidak seekstrim yang ditampilkan dalam Memento yang mentato tubuhnya. Selain itu dia juga diharuskan mengikuti semacam sekolah yang mencoba memperbaiki daya ingatnya. Meskipun dikelilingi orang-orang yang menyayanginya, seperti temannya yang buta ( Jeff Daniels dengan penampilan yang mengejutkan ), tokoh utama dalam film ini ( Chris Pratt ) digambarkan hidup dengan kemurungan. Cerita menjadi seru ketika dia bertemu dengan Gary Spargo ( Mathew Goode ). Si Gary ini mencoba memanfaatkan kelemahan Chris Pratt ke dalam rencana kriminalnya. Sekali lagi, kekuatan film ini adalah kemampuan sutradara dalam bercerita. Cerita yang sebenarnya tidak istimewa ini, ternyata bisa dituturkan dengan enak oleh Scott Frank. Dijamin tidak akan membuat penonton bosan. Naik turunnya cerita sangat terjaga dengan baik. Ketegangan dimunculkan pada saat dan dalam porsi yang sewajarnya. Permainan para bintang dalam film ini juga enak dilihat. Joseph Gorden Levitt yang di film 10 Things I Hate About You masih sangat imut, di film ini terlihat makin matang dan sekilas wajahnya mirip Heath Ledger. Inti dari film ini adalah bagaimana kita hidup dengan segala kekurangan yang kita miliki dan dengan kesalahan yang pernah kita buat. Bahwa kedua hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk kita berhenti hidup. Mungkin kita bisa belajar dari tokoh yang diperankan oleh Jeff Daniels, yang meskipun buta masih bisa menikmati hidup. Apalagi kalau kita dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi kita. Peace with yourself. 3/5

Monday, October 8, 2007

Salahnya Jelangkung 3


[by hery subyanto]


Melihat film horor Indonesia adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang sayangnya banyak dilakukan oleh penikmat film Indonesia , termasuk saya yang beberapa hari yang lalu melakukan kesalahan yang sama dengan melihat film horror buatan dalam negeri, Jelangkung 3.


Film horror Indonesia adalah sebuah kesalahan karena film horror Indonesia30 menit pertama film ini masih enak dinikmati, karena terlihat pembuat film ingin keluar dari pakem film horror Indonesia. Tetapi setelah itu, ketika hantu-hantu mulai berkeliaran, cerita menjadi basi, tidak ada sesuatu yang baru dan tidak konsisten.
melakukan kesalahan terbesar dalam sebuah produksi film yakni tidak didukung struktur cerita yang meyakinkan. Jelangkung 3 sebenarnya mempunyai latar belakang cerita yang cukup menarik, yakni mitos sekitar kursi yang dikosongkan pada saat penayangan film Jelangkung pada tahun 2000 (2001?).

Sesuatu yang baru yang coba ditawarkan oleh film ini yakni dominannya adegan di jalan raya, bukannya menambah tensi ketegangan, tetapi malah membuat penonton bosan karena seolah-olah tiap menit kita disuguhi adegan yang sama, Serasa déjà vu. Adegan di jalan raya menyita hampir 2/3 durasi film.

Film horror Indonesia adalah sebuah kesalahan karena sudah tidak terasa horror lagi. Hal ini disebabkan pemunculan hantu mudah sekali ditebak.

Film horror Indonesia adalah sebuah kesalahan karena tokoh-tokohnya digambarkan bodoh dan sering melakukan kesalahan yang sama yakni mereka selalu memisahkan diri dari temannya. Padahal kalau mereka menggunakan prinsip “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” hantunya tidak akan sembarangan muncul dan cerita akan menjadi lain.

Film horror Indonesia adalah sebuah kesalahan karena kadang maunya terlihat pintar tapi jatuhnya malah terlihat makin bodoh. Dalam Jelangkung 3, penulis cerita maunya mengaburkan pemunculan hantu dengan kebiasaan berbohong tokoh utamanya, mengaburkan kematian karena hantu dengan asma. Sebuah usaha yang patut kita hargai kalau dibekali dengan cerita yang meyakinkan dan konsisten. Dua hal yang tidak bisa ditemui dalam Jelangkung 3.

Dibandingkan dua Jelangkung sebelumnya, sebenarnya Jelangkung 3 ini lebih enak dinikmati oleh mataku berkat panataan kamera yang lebih “jinak”. Menurutku ini salah satu poin positif dari Jelangkung 3, selain kejadian terputusnya film. Dalam hal ini saya mengucapkan terima kasih kepada pengelola Studio Theatre di Singosaren. Kejadian tersebut sedikit menambah suasana menjadi lebih horror. Mungkin lebih horror daripada film horror Indonesia.
1/5