Tuesday, August 14, 2007


Pengantar penulis : Tidak nyangka dari coba-coba ternyata gol juga. Nulis hal sepele sih tapi tetep seneng soalnya baru pertama ngirim dan dibaca ribuan pasang mata.
Mungkin bisa memotivasi temen-temen yang lain. Kalau ada duit lebih beli aja, Kalo gak ada ya ini aku kirim buat semua hehehe


JANGAN DISKRIMINASIKAN KAMI!
[oleh hery subyanto - di muat sebgai artikel di majalah M2 (Movie Monthly, bulan Agustus 2007]

Saya gembira sekali di tahun 2007 ini disuguhi dengan banyak film Indonesia. Dan yang lebih menggembirakan lagi, hal tersebut diikuti dengan bervariasinya tema yang ditawarkan, diluar tema hantu dan kisah cinta remaja. Tapi dibalik kegembiraan tersebut, terus terang saya merasa sangat kecewa dengan keputusan
beberapa pekerja film ( produser ) yang memutuskan menayangkan hasil karya mereka hanya di kota tertentu saja, seperti film 3 Hari untuk Selamanya, Anak – anak Borobudur dan The Photograph.

Sebelumnya, film Serambi dan Opera Jawa juga hanya diputar beberapa kota saja.
Saya mengkhawatirkan film Lari dari Blora akan mengalami nasib yang sama.
Dari hal tersebut dapat saya simpulkan beberapa hal. Salah satunya adalah pembuat film tidak mempunyai kepercayaan diri filmnya bisa diterima oleh masyarakat. Sehingga mereka hanya memutar film mereka di kota-kota yang masyarakatnya mereka anggap lebih apresiatif terhadap karya mereka.

Kalau benar demikian, mereka tidak berbeda dengan para produser lain yang dalam menghasilkan sebuah film hanya berorientasi pada keuntungan semata. Bedanya, mereka membuat film yang ( katanya ) lebih bermutu, lebih mempunyai nilai seni dan lebih edukatif. Jadi, hak masyarakat untuk mendapatkan tontonan yang ( katanya ) lebih bermutu dikalahkan oleh kepentingan bisnis.

Dikalahkan oleh kekhawatiran film mereka tidak akan diterima oleh masyarakat. Mereka seperti tentara yang kalah sebelum bertempur. Pengecut! Padahal seringkali para pekerja film tersebut menekankan pentingnya tontonan yang mencerdaskan, tontonan yang “bergizi” dan yang tidak membodohi masyarakat.

Dalam hal ini saya memberikan penghormatan yang besar kepada mereka yang menghasilkan film Kala. Tema yang ditawarkan dalam film ini berbeda dengan kebanyakan film Indonesia, bahkan lumayan berat dengan memasuki persoalan politik, tetapi produser mempunyai keberanian untuk memutarnya secara luas. Meskipun dari segi bisnis film ini tidak memberi keuntungan sesuai dengan yang diharapkan, tetapi paling tidak produser film Kala mempunyai keberanian serta menghargai hak penikmat film Indonesia untuk mendapatkan tontonan
yang bermutu.

Hal lain yang bisa disimpulkan adalah para pekerja film tersebut secara tidak langsung memberi penilaian yang lebih rendah, dengan kata lain penghinaan,
terhadap tingkat apresiasi masyarakat di kota tertentu terhadap sebuah hasil karya yang katanya “berbeda”.

Makanya mereka hanya memutar karya mereka di kota dimana masyarakatnya mereka anggap lebih bisa mengapresiasi karya mereka. Hal ini dikuatkan dengan
pernyataan produser The Photograph di salah satu media bahwa film mereka (The Photograph) tidak bisa dinikmati oleh masyarakat umum, bahwa The Photograph
adalah sebuah film dengan segmen terbatas. Kalau alasannya demikian, indikator apa yang mereka pakai hingga mereka bisa dengan mudahnya “menghukum” penonton di kota tertentu dengan tidak memberi kesempatan untuk menikmati film karya mereka? Jumlah penonton? Sungguh pemikiran yang picik lagi dangkal, serta mencerminkan kesombongan mereka kalau memang besar kecilnya penonton menjadi tolok ukur mereka.

Pemikiran tersebut bisa diindikasikan sebagai kurangnya penghargaan terhadap tingkat apresiasi masyarakat di kota tertentu. Kalau memang begini, bagaimana masyarakat Indonesia bisa menghargai film karya anak bangsa, kalau ternyata para pembuat sendiri tidak bisa memberikan penghargaan yang sama antara penonton di kota yang satu dengan penonton di kota lain.

Kalaupun mereka menganggap masyarakat di kota tertentu mempunyai tingkat apresiasi yang lebih rendah terhadap karya yang “berbeda”, mengapa mereka tidak
merintis usaha untuk meningkatkan daya apresiasi masyarakat tersebut dengan memutar film mereka di kota yang bersangkutan? Paling tidak hal tersebut akan
dihargai sebagai suatu hal yang mulia dan sejalan dengan apa yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Apakah mereka tidak belajar dari Denias, Senandung di Atas Awan dan Naga Bonar jadi 2 yang meskipun menawarkan tema yang “serius”, tapi dengan strategi
dagang yang tepat bisa diterima oleh masyarakat luas. Mungkin ini yang harus diperhatikan dan menjadi tantangan oleh para pekerja film, yakni bagaimana mereka menjual hasil karya mereka secara luas, bagaimana karya mereka tidak hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas saja atau sebatas untuk diikutkan
festival.
Jadi para pekerja film diharapkan tidak hanya bisa menghasilkan karya yang bermutu, tetapi juga bisa menjual karya mereka. Rasanya tidak asyik kalau karya kita hanya diapresiasi oleh kalangan terbatas saja. Kalaupun mereka sudah cukup puas karya mereka mendapatkan pujian dan penghargaan dari pihak tertentu tanpa mempertontonkannya secara luas, rasanya seperti masturbasi saja.

Untuk sedikit mengurangi kekecewaan saya terhadap mereka yang merilis film secara terbatas, saya mencoba untuk berpikir positif. Mereka tidak bisa merilis film mereka secara luas dikarenakan terbatasnya dana untuk menggandakan film mereka. Tetapi hal ini memancing pertanyaan lain dalam benak saya. Kalaupun memang hal tersebut yang menjadi penyebabnya, bukankah kota lain bisa mendapatkan giliran setelah film tersebut turun layar di kota yang lebih dulu memutarnya?

Satu hal yang pasti, penikmat film Indonesia berhak menikmati film bagus dan bermutu karya anak bangsa! Jangan diskriminasikan kami.

Sebagai catatan: penulis tinggal di wonogiri.

2 comments:

KKFU said...

wouw...nice....
tulisan yang sangat singkat...n pas sasaran...mengingat...dirimu selalu harus PP wonogiri- solo...kalo perlu ke Jogja ya Her.....hahaha...

pemirsa said...

cuma mau ngingetin,,kadang2 yg ditulis di media ga sepenuhnya bener loh..

maksud saya gini, yakin kalo si sutradara bener2 bilang ga mau muter filmnya karena penonton di beberapa kota ga open minded??

atau jangan2 si pembuat film sebenernya ga punya dana yg cukup buat memasok film itu ke beberapa kota tapi make bahasa yg diplomatis (berbelit-belit(tapi si wartawannya aja yg salah mengartikan,jd ditulisnya beda,,,biasa biar beritanya ngejual)

hehe,, soalnya kan biaya 'nitip' film di bioskop ga murah... kalo nekat tayang di semua kota,, itu sih namanya nekat perang padahal ga punya cadangan ransum makanan alias bunuh diri hehe..

but anyway,tulisannya keren kok
lendra.mail@gmail.com